Rabu, 18 Januari 2012

Hatiku Jujurlah

Hatiku ...jujurlah...
Kalau engkau tak sanggup menjadi cemara yang kokoh di puncak bukit ...
jadilah saja belukar yang teguh di tepi jurang...
Belukar itu senantiasa istiqomah dalam perjuangannya untuk hidup.
Ia belajar dari kesehariannya untuk mendewasakan batangnya,
batangnya yang menyanggahnya untuk tidak masuk ke dalam jurang...

Hatiku...ketahuilah!!!
Ternyata untuk menjadi belukar saja itu tidak mudah!!!
Belukar harus ikhlas agar ia tak iri pada cemara...
Belukar harus tawadhu agar ia tak sombong pada rumput...

Kalau engkau tak sanggup jadi belukar...jadilah saja rumput,
tetapi rumput yang senantiasa memperkuat pinggiran jalan...
Kalau engkau tak sanggup menjadi langit...jadilah saja bumi,
tetapi bumi yang setia dan ikhlas untuk dipijaki oleh setiap manusia..
walau manusia itu membawa kebaikan ataupun keburukan kepadanya..

tetaplah tulus menebarkan kebaikan walau kadang tak mudah..

Minggu, 08 Januari 2012

Saudariku aku merindukanmu


“bismillah”
Saudariku yang aku sayang…
Sudah beberapa hari ini aku tidak pernah melihatmu..
Eah, benar sekali apa yang kau katakan di sms terakhirmu
“terima kasih atas semuanya, tidak pernahma itu talihat
Itu bunyi sms terakhirmu saudariku..
Eah, tapi ndag apa2 ko’ aku akan coba terima semuanya..
Meskipun sebenarnya sakit sekali kehilanganmu…
Saudariku….. aku sangatttt.. merindukanmu..
Sering kali berfikir, apa yang akan terjadi jika harus kehilanganmu..
Tapi sekarang semuanya nyata,
Seandainya hari2 bersamamu itu hanya mimpi,
Aku memilih tidak ingin terbangun,
aku ingin selalu bersamamu saudariku..
saudariku yang aku rindukan…
aku harap kau tidak sakit hati atas kelakuanku.
itulah emosi, kadang kita tdk bisa mngendalikannya
dan akhirnya,,, hanya akan ada penyesalan.

Kamis, 03 November 2011

AHLUSSUNNAH WAL JAMA'AH



Sejarah Lahirnya Ahlussunah Waljamaah
Dahulu di zaman Rasulullah SAW. Kaum muslimin dikenal bersatu, tidak ada golongan ini dan tidak ada golongan itu, tidak ada syiah ini dan tidak ada syiah itu, semua dibawah pimpinan dan komando Rasulullah SAW. Bila ada masalah atau beda pendapat antara para sahabat, mereka langsung datang kepada Rasulullah SAW. Itulah yang membuat para sahabat saat itu tidak sampai terpecah belah, baik dalam masalah akidah, maupun dalam urusan duniawi. Kemudian setelahRasulullah SAW wafat, benih-benih perpecahan mulai tampak dan puncaknyaterjadi saat Imam Ali kw. menjadi khalifah. Namun perpecahan tersebut hanya bersifat politik, sedang akidah mereka tetap satu yaitu akidah Islamiyah, meskipunsaat itu benih-benih penyimpangan dalam akidah sudah mulai ditebarkan oleh IbinSaba’, seorang yang dalam sejarah Islam dikenal sebagai pencetus faham Syiah(Rawafid).Tapi setelah para sahabat wafat, benih-benih perpecahan dalam akidahtersebut mulai membesar, sehingga timbullah faham-faham yang bermacam-macamyang menyimpang dari ajaran Rasulullah SAW.Saat itu muslimin terpecah dalam dua bagian, satu bagian dikenal sebagaigolongan-golongan ahli bid’ah, atau kelompok-kelompok sempalan dalam Islam,seperti Mu’tazilah, Syiah (Rawafid), Khowarij dan lain-lain. Sedang bagian yangsatu lagi adalah golongan terbesar, yaitu golongan orang-orang yang tetap berpegang teguh kepada apa-apa yang dikerjakan dan diyakini oleh RasulullahSAW. bersama sahabat-sahabatnya.Golongan yang terakhir inilah yang kemudian menamakan golongannya danakidahnya Ahlus Sunnah Waljamaah. Jadi golongan Ahlus Sunnah Waljamaahadalah golongan yang mengikuti sunnah-sunnah nabi dan jamaatus shohabah. Halini sesuai dengan hadist Rasulullah SAW : bahwa golongan yang selamat dan akanmasuk surga (al-Firqah an Najiyah) adalah golongan yang mengikuti apa-apa yangaku (Rasulullah SAW) kerjakan bersama sahabat-sahabatku.Dengan demikian akidah Ahlus Sunnah Waljamaah adalah akidah Islamiyahyang dibawa oleh Rasulullah dan golongan Ahlus Sunnah Waljamaah adalah umatIslam. Lebih jelasnya, Islam adalah Ahlus Sunnah Waljamaah dan Ahlus SunnahWaljamaah itulah Islam. Sedang golongan-golongan ahli bid’ah, seperti Mu’tazilah,Syiah(Rawafid) dan lain-lain, adalah golongan yang menyimpang dari ajaranRasulullah SAW yang berarti menyimpang dari ajaran Islam.
Dengan demikian akidah Ahlus Sunnah Waljamaah itu sudah ada sebelumAllah menciptakan Imam Ahmad, Imam Malik, Imam Syafii dan Imam Hambali.Begitu pula sebelum timbulnya ahli bid’ah atau sebelum timbulnya kelompok-kelompok sempalan. Akhirnya yang perlu diperhatikan adalah, bahwa kita sepakat bahwa Ahlul Bait adalah orang-orang yang mengikuti sunnah Nabi SAW. danmereka tidak menyimpang dari ajaran nabi. Mereka tidak dari golongan ahli bid’ah,tapi dari golongan Ahlus Sunnah.
A. Pengertian as-Sunnah Secara Bahasa (Etimologi)
As-Sunnah  secara bahasa berasal dari kata: "sanna yasinnu", dan "yasunnu sannan", dan "masnuun" yaitu yang disunnahkan. Sedang "sanna amr" artinya menerangkan (menjelaskan) perkara.
As-Sunnah juga mempunyai  arti "at-Thariqah" (jalan/metode/pandangan hidup) dan "as-Sirah" (perilaku) yang terpuji dan tercela. Seperti sabda Rasulullah SAW, 
"Sungguh kamu  akan mengikuti perilaku orang-orang sebelum kamu sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta." (HR. Al-Bukhari dan Muslim). (HR. Al-Bukhari no 3456, 7320 dan Muslim no. 2669 dari Sahabat Abu Sa'id al-Khudri).
Lafazh "sanana" maknanya adalah (pandangan hidup mereka dalam urusan agama dan dunia). 
"Barangsiapa memberi contoh suatu sunnah (perilaku) yang baik dalam Islam, maka baginya pahala kebaikan tersebut dan pahala orang yang mengerjakannya setelahnya, tanpa mengurangi sesuatu apapun dari pahala mereka. Dan barang siapa memberi contoh sunnah (perilaku) yang jelak dalam Islam ...." (HR. Muslim). ((HR. Muslim no. 1017, at-Tirmidzi no. 2675, Ibnu Majah no. 203, ad-Darimi no. 514, Ahmad (IV/357), an-Nasa-i no. 2553, dan yang lainnya dari Sahabat Jarir bin ‘Abdillah. Hadist selengkapknya adalah sebagai berikut, "Dari al-Mundzir  bin jarir, dari bapaknya, dia berkata, "Kami pernah berada bersama Rasulullah SAW pada permulaan terik siang. Dia berkata, ‘Lalu datanglah kepada Rasulullah SAW suatu kaum dalam keadaan tidak beralas kaki dan telanjang, hanya memakai kain selimut (yang nampak dari yang memakainya hanya bagian kepala saja) atua mantel dari karung sambil menyandang pedang, kebanyakan mereka  dari kabilah Mudhar, bahkan semuanya dari Mudhar. Melihat kondisi demikian raut wajah Rasulullah SAW menjadi berubah (karena merasa iba) karena melihat kefakiran yang menimpa mereka. Lalu  beliau masuk kemudian keluar, kemudian  menyuruh Bilal untuk mengumandangkan adzan dan iqamah. Rasulullah SAW lalu mengerjakan shalat kemudian dikuti dengan berkhutbah, sambil bersabda : ‘Hai sekalain manusia bertakwalah kepada Rabb-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, .... sampai akhir ayat ‘Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasimu,' (An-Nisaa': 1) juga membaca ayat dalam surat Al-Hasyr, ‘Hari orang-orang  yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memeprhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah....' (Al-Hasyr: 18). (Karena mendengar khutbah Nabi tersebut) Kemudian ada seseorang bershadaqah dari dinarnya, diharmnya, pakaiannya, dari satu sha' (kira-kira 3 kg) gandumnya, satu sha' kurma, sampai-sampai beliau mengatakan walaupun hanya dengan setengah butir kurma kering.' Dia berkata: "Kemudian seorang laki-laki dari Kaum Anshar membawa  membawa sekantung penuh kurma, hampir-hampir telapak tangannya tidak kuat untuk membawahnya, bahkan benar-benar lemah, maka hal itu diikuti silih berganti oleh banyak orang. Sampai-sampai aku melihat dua tumpukan makanan dan pakaian yang sangat banyak. Akupun melihat raut wajah Rasulullah SAW bergembira seakan-akan bersinar cerah sekali,  kemudian beliau bersabda: "Barangsiapa  yang mencontohkan suatu sunnah yang baik dalam Islam, maka baginya pahala sunnah tersebut dan pahala orang yang mengamalkannya sesudahnya, tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun, dan barang siapa mencontoh suatu sunnah yang jelek/buruk dalam Islam, maka dosanya akan ditanggungnya dan juga dosa orang yang mengamalkannya setelahnya, tanpa mengurangi dosa mereka sedikitpun.')
"Barangsiapa memberi contoh suatu sunnah (perilaku) yang baik dalam Islam, maka baginya pahala kebaikan tersebut dan pahala orang yang mengerjakannya setelahnya, tanpa mengurangi sesuatu apapaun dari pahalam mereka. Dan barangsiapa memberi contoh sunnah (perilaku) yang jelak dalam Islam ...."
Lafazh "sunnah" maknanya adalah "sirah" (perilaku). (Lihat kamus bahasa, Lisaanul ‘Arab, Mukhtaarush Shihaah dan al-Qaamuusul Muhith: (bab: Sannana).
B.     Pengertian as-Sunnah Secara Istilah (Terminologi)
Yaitu petunjuk yang telah ditempuh oleh rasulullah SAW dan para Sahabatnya baik berkenaan dengan ilmu, ‘aqidah, perkataan, perbuatan maupun ketetapan.
As-Sunnah juga digunakan untuk menyebut sunnah-sunnah (yang berhubungan dengan) ibadah dan ‘aqidah. Lawan kata "sunnah" adalah "bid'ah". 
Nabi SAW bersabda, "Sesungguhnya barang siapa yang hidup diantara kalian setelahkau, maka akan melihat perselisihan yang banyak. Maka hendaknya kalian berpegang teguh pada Sunnahku dan Sunnah para Khulafa-ur Rasyidin dimana mereka itu telah mendapat hidayah." (Shahih Sunan Abi Dawud oleh Syaikh al-Albani). (HR. Ahmad (IV/126-127), Abu Dawud no. 4607, at-Tirmidzi no. 2676, dan al-Hakim (I/95), dishahihkan dan disepakati oleh Imam adz-Dzahabi. Lihat keternagan hadits selengkapnya di dalam Irwaa-ul Ghaliil no. 2455 oleh Syaikh al-Albani. 
C.     Pengertian Jama'ah Secara Bahasa (Etimologi)
Jama'ah diambil dari kata "jama'a" artinya mengumpulkan sesuatu, dengan mendekatkan sebagian dengan sebagian lain. Seperti kalimat "jama'tuhu" (saya telah mengumpulkannya); "fajtama'a" (maka berkumpul).
Dan kata tersebut berasal dari kata "ijtima'" (perkumpulan), ia lawan kata dari "tafarruq" (perceraian) dan juga lawan kata dari "furqah" (perpecahan). Jama'ah adalah sekelompok orang banyak; dan dikatakan juga sekelompok manusia yang berkumpul berdasarkan satu tujuan.
Dan jama'ah juga berarti kaum yang bersepakat dalam suatu masalah. (Lihat kamus bahasa: Lisaanul ‘Arab, Mukhtaraarush Shihaah dan al-Qaamuusul Muhiith: (bab: Jama'a). 
D.    Pengertian Jama'ah Secara Istilah (Terminologi):
Yaitu kelompok kaum muslimin ini, dan mereka adalah pendahulu ummat ini dari kalangan para sahabat, tabi'in dan orang-orang yang mengikuti jejak kebaikan mereka sampai hari kiamat; dimana mereka berkumpul berdasarkan Al-Qur-an dan As-Sunnah dan mereka berjalan sesuai dengan yang telah ditempuh oleh Rasulullah SAW baik secara lahir maupun bathin.
Allah Ta'ala telah memeringahkan kaum Mukminin dan menganjurkan mereka agar berkumpul, bersatu dan tolong-menolong. Dan Allah melarang mereka dari perpecahan, perselisihan dan permusuhan. Allah SAW berfirman: "Dan berpeganglah kamu semua kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai." (Ali Imran: 103). 
Dia berfirman pula, "Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka." (Ali Imran: 105). 
Nabi SAW bersabda, "Sesungguhnya agama ini akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga (golongan), tujuh puluh dua tempatnya di dalam Neraka dan satu tempatnya di dalam Surga, yaitu ‘al-Jama'ah." (Shahih Sunan Abi Dawud oleh Imam al-Albani). (HR. Abu Dawud no. 4597, Ahmat (IV/102), al-Hakim (I/128), ad-Darimi (II/241). Dishahihkan oleh al-Hakim dan disepakati oleh Imam adz-Dzahabi dari Mu'awiyah bin Abi Sufyan. Dishahihkan pula oleh Syaikh al-Albani. Lihat Silsilatul Ahadadiitsish Shahiihah no. 203.204). 
Beliau juga bersabda, "Hendaknya kalian bersatu, dan janganlah bercerai-berai. Karena sesungguhnya syaitan itu bersama seorang, dan dia dari dua orang lebih jauh. Barangsiapa menginginkan di tengah-tengah Surga, maka hendaknya ia berjama'ah (bersatu)!" (HR Ahmad, dalam Musnadnya, dan dishahihkan oleh Imam al-Albani dalam kitab Sunnah karya Ibnu Abi ‘Ashim). (HR. At-Tirmidzi no. 2165, Ahmad (I/18), lafazh ini milik at-Tirmidzi. Dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam kitab as-Sunnah karya Ibnu Abi ‘Ashim dan bersamanya kitab Zhilaalul Jannah fi Takhrij as-Sunnah no. 88). 
Seorang Sahabat yang mulia bernama ‘Abullah bin Mas'ud r.a. berkata, "Al-Jama'ah adalah yang mengikuti kebenaran walaupun engkau sendirian." (Diriwayatkan oleh al-Lalika-i dalam kitabnya, Syarah Ushul I'tiqaad Ahlis Sunnah wal Jama'ah). (Syarah Ushuulil I'tiqaad karya al-Lalika-i no. 160 dan al-Baa'its ‘alaa Inkaaril Bida' wal Hawaadits hal. 91-92, tahqiq oleh Syaikh Masyhur bin Hasan Salman). 
Jadi Ahlus Sunnah wal Jama'ah, adalah mereka yang berpegang teguh pada sunnah Nabi Muhammad SAW, para sahabatnya dan orang-orang yang mengikuti jejak dan jalan mereka, baik dalam hal ‘aqidah, perkataan maupun perbuatan, juga mereka yang istiqamah (konsisten) dalam ber-ittiba' (mengikuti Sunnah Nabi SAW) dan menjauhi perbuatan bid'ah. Mereka itulah golongan yang tetap menang dan senantiasa ditolong oleh Allah sampai hari Kiamat. Oleh karena itu mengikuti mereka (Salafush Shalih) berarti mendapatkan petunjuk, sedang berselisih terhadapnya berarti kesesatan. 

Ahlus Sunnah wal Jama'ah mempunyai karakteristik dan keistimewaan, diantaranya :
1.      Mereka mempunyai sikap wasathiyah (pertengahan) di antara ifraath (melampaui batas) dan tafriith (menyia-nyiakan); dan di antara berlebihan dan sewenang-wenang, baik dalam masalah ‘aqidah, hukum atau akhlak. Maka mereka berada di pertengahan antara golongan-golongan lain, sebagaimana juga ummat ini berada dipertengahan antara agama-agama yang ada.
2.      Sumber pengambilan pedoman bagi mereka hanyalah al-Qur-an dan as-Sunnah, Mereka pun memperhatikan keduanya dan bersikap taslim (menyerah) terhadap nash-nashnya dan memahaminya sesuai dengan manhaj Salaf.
3.      Mereka tidak mempunyai iman yang diagungkan, yang semua perkataannya diambil dari meninggalkan apa yang bertentangan dengan kecuali perkataan Rasulullah SAW. Dan Ahli Sunnah itulah yang paling mengerti dengan keadaan Rasulullah SAW  perkataan dan perbuatannya. Oleh karena itu, merekalah yang paling mencintai sunnah, yang paling peduli untuk mengikuti dan paling lolal terhadap para pengikutnya.
4.      Mereka meninggalkan persengketaan dan pertengkaran dalam agama sekaligus menjauhi orang-orang yang terlibat di dalamnnya, meninggalkan perdebatan dan pertengkaran dalam permasalahan tentang halal dan haram. Mereka masuk ke dalam dien (Islam) secara total.
5.      Mereka mengagungkan para Salafush Shalih dan berkeyakinan bahwa metode Salaf itulah yang lebih selamat, paling dalam pengetahuannya dan sangat bijaksana.
6.      Mereka  menolak ta'wil (penyelewengan suatu nash dari makna yang sebenarnya) dan menyerahkan diri kepada syari'at, dengan mendahulukan nash yang shahih daripada akl (logika) belaka dan menundukkan akal di bawah nash.
7.      Mereka memadukan antara nash-nash dalam suatu permasalahan dan mengembalikan (ayat-ayat) yang mutasyabihat (ayat-ayat yang mengandung beberapa pengertian/tidak jelas) kepada yang muhkam (ayat-ayat yang jelas dan tegas maksudnya).
8.      Mereka merupakan  figur teladan orang-orang yang shalih, memberikan petunjuk ke arah jalan yang benar dan lurus, dengan kegigihan mereka di atas kebenaran, tidak membolak-balikkan urusan ‘aqidah kemudian bersepakat atas penyimpangannya. Mereka memadukan antara ilmu dan ibadah, antara tawakkal  kepada Allah dan ikhtiar (berusaha), antara berlebih-lebihan dan wara' dalam urusan dunia, antara cemas dan harap, cinta dan benci, antara sikap kasih sayang dan lemah lembut kepada kaum mukminin dengan sikap keras dan kasar kepada orang kafir, serta tidak ada perselisihan diantara mereka walaupun di tempat dan zaman yang berbeda.
9.      Mereka tidak menggunakan sebutan selain Islam, Sunnah dan Jama'ah.
10.  Mereka peduli untuk menyebarkan ‘aqidah yang benar, agama yang lurus, mengajarkannya kepada manusia, memberkan bimbingan dan nasehat kepadanya serta memperhatikan urusan mereka.
11.  Mereka adalah orang-orang yang paling sabar atas perkataan, ‘aqidah dan dakwahnya.
12.  Mereka sangat peduli terhadap persatuan dan jama'ah, menyeru dan menghimbau manusia kepadanya serta menjauhkan perselisihan, perpecahan dan memberikan peringatan kepada manusia dari hal tersebut.
13.  Allah Ta'ala menjaga mereka dari sikap saling mengkafirkan sesama mereka, kemudian mereka menghukumi orang selain mereka berdasarkan ilmu dan keadilan.
14.  Mereka saling mencintai dan mengasihi sesama mereka, saling tolong menolong diantara mereka, saling menutupi kekurangan sebagian lainnya. Mereka tidak loyal dan memusuhi kecuali atas dasar agama.
Secara garis besarnya, ahlus sunnah wal jama'ah adalah manusia yang paling baik akhlaknya, sangat peduli terhadap kesucian jiwa  mereka dengan berbuat ketaatan kepada Allah Ta'ala, paling luas wawasannya, paling jauh pandangan, paling lapang dadanya dengan khilaf (perbedaan pendapat) dan paling mengetahui tentang adab-adab  dan prinsip-prinsip khilaf.

E.     Pengertian Ahlus Sunnah Wal Jama'ah Secara Ringkas
Bahwa Ahlus Sunnah wal Jama'ah adalah suatu golongan yang telah Rasulullah SAW janjikan akan selamat di antara golongan-golongan yang ada. Landasan mereka bertumpu pada ittiba'us sunnah (mengikuti as-Sunnah) dan menuruti apa yang dibawa oleh nabi baik dalam masalah ‘aqidah, ibadah, petunjuk, tingkah laku, akhlak dan selalu menyertai jama'ah kaum Muslimin.
Dengan demikian, maka definisi Ahlus Sunnah wal Jama'ah tidak keluar dari definisi Salaf. Dan sebagaimana telah dikemukakan bahwa salaf  ialah mereka yang mengenalkan Al-Qur-an dan berpegang teguh dengan As-Sunnah. Jadi Salaf adalah Ahlus Sunnah yang dimaksud oleh Nabi SAW. Dan ahlus sunnah adalah Salafush Shalih dan orang yang mengikuti jejak mereka.
Inilah pengertian yang lebih khusus  dari Ahlus Sunnah wal Jama'ah. Maka tidak termasuk dalam makna ini semua golongan ahli bid'ah dan orang-orang yang mendikuti keinginan nafsunya, seperti  Khawarij, Jahmiyah, Qadariyah, Mu'tazilah, Murji'ah, Rafidhah (Syiah) dan lain-lainnya dari ahli bid'ah yang meniru jalan mereka.
Maka sunnah adalah lawan kata bid'ah, sedangkan jama'ah lawan kata firqah (gologan). Itulah yang dimaksudkan dalam hadits-hadits tentang kewajiban berjama'ah dan larangan bercerai-berai.
Inilah yang dimaksudkan oleh "Turjumanul Qur-an (juru bicara al-Qur-an)" yaitu ‘Abdullah bin ‘Abbas r.a. dalam menafsirkan firman Allah Ta'ala, "Pada hari yang diwaktu itu ada muka yang putih berseri, dan ada pula maka yang hitam muram". (Ali Imran: 106).
Beliau berkata, "Muka yang putih berseri adalah muka Ahlus Sunnah wal Jama'ah dan muka yang hitam muram adalah muka ahlil bid'ah dan furqah (perselisihan)." (Lihat Tafsir Ibnu Katsir, Juz I hal. 390 (QS. Ali Imran: 106).

sumber:
Diadaptasi dari Abdullah bin Abdul Hamid Al-Atsari, Al-Wajiiz fii Aqiidatis Salafis Shaalih (Ahlis Sunnah wal Jama'ah), atau Intisari Aqidah Ahlus Sunah wal Jama'ah), terj. Farid bin Muhammad Bathathy(Pustaka Imam Syafi'i, cet.I), hlm. 50 -60.

Aliran Maturidiyah


ALIRAN MATURIDIYAH

PENDAHULUAN
Abu Muhammad Ibn Muhammad Ibn Mahmud al-Maturidi lahir di Samarkand pada pertengahan ke dua dari abad ke sembilan Masehi dan meninggal di tahun 944 Masehi. Ia adalah pengikut Abu Hanifah dan faham-faham teologinya banyak persamaannya dengan faham-faham yang dimajukan Abu Hanifah. Sistem pemikiran teologi yang ditimbulkan Abu Mansur termasuk dalam golongan teologi Ahli Sunnah dan dikenal dengan nama al-Maturidiyah.1
Literatur mengenai ajaran-ajaran Abu Mansur dan aliran Maturidiyah tidak sebanyak literatur mengenai ajaran-ajaran Asy’ariyah. Buku-buku yang banyak membahas soal sekte-sekte sperti buku-buku al-Syahrastani, Ibnu Hazm, al Bagdadi dan lain-lain tidak memuat keterangan-keterangan tentang al-Maturidi atau pengikut-pengikutnya. Karangan-karangan al-maturidi sendiri masih belum dan tetap dalam bentuk Mahtutat.
Diantara Mahtutat itu adalah Kitab al Tauhid dan Kitab Ta’wil al-Qur’an. Seterusnya ada pula yang karangan-karangan yang dikatakan disusun oleh al-maturidi yaitu Risalah fi al-’Aqa’id dan Syarh al-Fiqh al-Akbar. Keterangan-keterangan mengenai pendapat-pendapat al Maturidi dapat diperoleh lebih lanjut dari buku-buku yang dikarang oleh pengikut-pengikutnya seperti Isyarat al-Maram oleh al-Bayadi dan Usul al-Din oleh al-Bazdawi.
1.      Pengertian Aliran Maturidiyah
Berdasarkan buku Pengantar Teologi Islam, aliran Maturidiyah diambil dari nama pendirinya, yaitu Abu Mansur Muhammad bin Muhammad. Di samping itu, dalam buku terjemahan oleh Abd. Rahman Dahlan dan Ahmad Qarib menjelaskan bahwa pendiri aliran maturidiyah yakni Abu Manshur al-Maturidi, kemudian namanya dijadikan sebagai nama aliran ini.
Selain itu, definisi dari aliran Maturidiyah adalah aliran kalam yang dinisbatkan kepada Abu Mansur al-Maturidi yang berpijak kepada penggunaan argumentasi dan dalil aqli kalami. Sejalan dengan itu juga, aliran Maturidiyah merupakan aliran teologi dalam Islam yang didirikan oleh Abu Mansur Muhammad al-Maturidiyah dalam kelompok Ahli Sunnah Wal Jamaah yang merupakan ajaran teknologi yang bercorak rasional.
Jika dilihat dari metode berpikir dari aliran Maturidiyah, aliran ini merupakan aliran yang memberikan otoritas yang besar kepada akal manusia, tanpa berlebih-lebihan atau melampaui batas, maksudnya aliran Maturidiyah berpegang pada keputusan akal pikiran dalam hal-hal yang tidak bertentangan dengan syara’. Sebaliknya jika hal itu bertentangan dengan syara’, maka akal harus tunduk kepada keputusan syara’.
Berdasarkan prinsip pendiri aliran Maturidiyah mengenai penafsiran Al-Qur’an yaitu kewajiban melakukan penalaran akal disertai bantuan nash dalam penafsiran Al-Qur’an. Dalam menfsirkan Al-Qur’an al-Maturidi membawa ayat-ayat yang mutasyabih (samar maknanya) pada makna yang muhkam (terang dan jelas pengertiannya). Ia menta’wilkan yang muhtasyabih berdasarkan pengertian yang ditunjukkan oleh yang muhkam. Jika seorang mikmin tidak mempunyai kemampuan untuk menta’wilkannya, maka bersikap menyerah adalah lebih selamat.
Jadi dalam pena’wilan Al-Qur’an, al-Maturudi sangat berhati-hati walaupun beliau menjadikan akal suatu kewajiban dalam penafsiran suatu ayat. Penulis setuju dengan sikap al-Maturudi dalam menafsirkan ayat yang mutasyabih, yakni dengan mencari pentunjuk dari ayat yang muhkam dan dikombinasikan dengan penalaran akal pikiran yang apabila seseorang tidak bisa mena’wilkan ayat tersebut, maka orang itu dianjurkan untuk tidak mena’wilkannya.
Maka dari bererapa pengertian di atas, kami bisa memberikan simpulan bahwa aliran Maturidiyah merupakan aliran yang namanya diambil dari nama pendirinya yakni al-Maturudi. Aliran ini menggunakan akal dalam analogi pemikiran atau penafsiran ayat, namun hal itu bukan menjadi hal yang mutlak karena apabila terdapat keputusan akal yang bertentangan dengan syara’, maka itu ditolak.
2.      Sejarah Aliran Maturidiyah
Dalam buku Teologi Islam, Aliran-aliran Sejarah Analisa perbandingan (Harun Nasution, 76) menyebutkan bahwa Abu Manshur Muhammad Ibn Muhammad Ibn Mahmud al-Maturudi lahir di Samarkand pada pertengahan ke dua dari abad ke sembilan Masehi dan meninggal di tahun 944 M. Tidak banyak diketahui mengenai riwayat hidupnya. Ia adalah pengikut Abu Hanifah dan paham-paham teologinya banyak persamaannya dengan paham-paham yang dimajukan Abu Hanifah. Sistem pemikiran teologi yang ditimbulkan Abu Mansur termasuk dalam golongan teologi ahli sunnah dan dikenal dengan al-Maturidiah.
Abu Mansur al-Maturidi mencari ilmu pada pertiga terakhir dari abad ke tiga Hijrah, di mana aliran Mu’tazilah sudah mengalami kemundurannya, dan di antara gurunya adalah Nasr bin Yahya al-Balakhi (wafat 268 H). Negeri Samarkand pada saat itu merupakan tempat diskusi dalam ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh. Diskusi di bidang Fiqh berlangsung antara pendukung mazhab Hanafi dan pendukung mazhab Syafi’i.
Selain itu, aliran Maturidiyah merupakan salah satu dari sekte Ahl al-Sunnah wal al-Jama’ah yang tampil bersama dengan Asy’ariah. Kedua aliran ini datang untuk memenuhi kebutuhan mendesak yang menyerukan untuk menyelamatkan diri dari ekstrimitas kaum rasionalis di mana yang berada di barisan paling depan adalah Mu’tazilah, maupun ekstrimitas kaum tekstualis di mana yang berada di barisan paling depan adalah kaum Hanabillah (para pengikut Imam Ibnu Hambal). Pada awalnya antara kedua aliran ini (Maturidiyah dan Asy’ariyah) dipisahkan oleh jarak: aliran Asy’ariyah di Irak dan Syam (Suriah) kemudian meluas ke Mesir, sedangkan aliran Maturidiyah di Samarkand dan di daerah-daerah di seberang sungai (Oxus-pen). Kedua aliran ini bisa hidup dalam lingkungan yang kompleks dan membentuk satu mazhab. Nampak jelas bahwa perbedaan sudut pandang mengenai masalah-masalah Fiqh kedua aliran ini merupakan faktor pendorong untuk berlomba dan survive. Orang-orang Hanafiah (para pengikut Imam Hanafi) membentengi aliran Maturidiyah, dan para pengikut Imam al-Syafi’I dan Imam al-Malik mendukung kaum Asy’ariyah.
Memang aliran Asy’ariyah lebih dulu menentang paham-paham dari aliran Mu’tazilah. Seperti yang kita ketahui, al-Maturidi lahir dan hidup di tengah-tengah iklim keagamaan yang penuh dengan pertentangan pendapat antara Mu’tazilah (aliran teologi yang amat mementingkan akal dan dalam memahami ajaran agama) dan Asy’ariyah (aliran yang menerima rasional dan dalil wahyu) sekitar masalah kemampuan akal manusia. Maka dari itu, Al-Maturidi melibatkan diri dalam pertentangan itu dengan mengajukan pemikiran sendiri. Pemikirannya itu merupakan jalan tengah antara aliran Mu’tazilah dan Asy’ariyah. Kerana itu juga, aliran Maturiyah sering disebut “berada antara teologi Mu’tazilah dan Asy’ariyah”.
Salah satu pengikut penting dari al-Maturidi adalah Abu al-Yusr Muhammad al-Bazdawi (421-493 H). Nenek al-Bazdawi adalah murid dari al-Maturidi, dan al-Bazdawi mengetahui ajaran-ajaran al-Maturidi dari orang tuanya. Al-bazdawi sendiri mempunyai murid-murid dan salah seorang dari mereka ialah Najm al-Din Muhammad al-Nasafi (460-537 H).
Walaupun konsep pemikiran al-Bazdawi bersumber dari pemikiran al-Maturudi, tapi terdapat pemikiran-pemikiran al-Bazdawi yang tidak sefaham dengan al-Maturudi. Antara ke dua pemuka aliran Maturidiyah ini, terdapat perbedaan faham sehingga boleh dikatakan bahwa dalam aliran Maturidiyah terdapat dua golongan: golongan Samarkand yaitu pengikut-pengikut al-Maturidi sendiri, dan golongan Bukhara yaitu pengikut-pengikut al-Bazdawi.
 Dari paparan mengenai sejarah di atas, di sini para penulis beropini bahwa aliran Maturidiyah merupakan aliran dari sekte Ahl al-Sunnah wal al-Jama’ah yang pada mulanya aliran ini berakar dari pemikiran Abu Mansur al-Maturidi. Beranjak dari pemikiran-pemikiran al-Maturidi ini lah aliran ini berkembang. Sehingga pengikut aliran ini disebut aliran Maturudiyah yang diambil dari nama pendirinya sendiri.
Pada mulanya, aliran ini masih teguh pada satu kiblat yakni pemikiran-pemikiran dari pendirinya (al-Maturidi). Namun jauh setelah al-Maturidi meninggal, yakni cucu dari salah seorang murid al-Maturidi, al-Bazdawi memberikan pemahaman yang bertentangan dengan pemikiran-pemikiran al-Maturidi. Sehingga banyak hal-hal yang berbeda dalam konsep ajaran yang diberikan oleh pendirinya dengan pemikiran al-Bazdawi itu sendiri. Maka dengan adanya perbedaan-perbedaan tersebut, aliran Maturidiyah terpecah menjadi dua golongan besar yaitu pengikut setia al-Maturidi yang akhirnya disebut Maturidiyah Samarkand dan pengikut al-Bazdawi yang disebut dengan Maturidiyah Bukhara.
3.      Ajaran Aliran Maturidiyah
Sebelum kita memahami konsep ajaran dari aliran Maturidiyah sebelum terpecah menjadi dua golongan, kita harus tahu konsep pemikiran al-Maturudi terlebih dahulu yakni kewajiban ma’rifah terhadap Allah Swt. mungkin di temukan berdasarkan penalaran akal, sebagaimana Allah Swt. telah memerintahkan untuk melakukan penalaran dalam sejumlah ayat Al-Qur’an. Allah Swt. memerintahkan kepada manusia untuk berpikir mengenai kerajaan langit dan bumi dan memberikan pengarahan kepada manusia bahwa sekira akal pikiran diarahkan secara konsisten, terlepas dari hawa nafsu dan taklid. Sesuai dengan firman Allah Swt. Yang artinya berikut:
Artinya:
Dan Dia telah menundukkan untukmu apa yang di langit dan apa yang di bumi semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berfikir.” (QS. Al-Jaatsiyah, 45: 13)
Maka dari itu, al-Maturudi memberikan kontribusi pemikirannya kurang lebih tiga ajaran yakni:
  1. Mengenai sifat-sifat Allah Swt.
Mengenai sifat-sifat Allah Swt., aliran Asy’ariyah mengatakan sifat-sifat Allah Swt. itu merupakan sesuatu yang berada di luar Dzat. Mereka juga menetapkan adanya qudrah, iradah,’ ilm, bayah, sama’, basher dan kalam pada Dzat Allah Swt. Kata mereka, semua itu merupakan sesuatu di luar Dzat-Nya. Mu’tazilah mengatakan bahwa tidak ada sesuatu di luar Dzat-Nya. Adapun yang disebutkan dalam Al-Qur’an, seperti:’Alim(Maha mengetahui), Khabir(Maha mengenal), Hakim(Maha bijaksana), Bashir(Maha melihat), merupakan nama-nama bagi Dzat Allah Swt. Kemudian al-Maturidi menetapkan sifat-sifat itu bagi Allah Swt., tetapi ia mengatakan bahwa sifat-sifat itu bukanlah sesuatu di luar Dzat-Nya, bukan pula sifat-sifat yang berdiri pada Dzat-Nya dan tidak pula terpisah dari Dzat-Nya.
Al-Maturidi juga menerima segala sesuatu yang disifatkan Allah Swt. kepada diri-Nya sendiri, baik berupa sifat maupun keadaan. Sekalipun demikian, ia menetapkan bahwa Allah Maha Suci dari antropomorfisme (menyerupai bentuk manusia) dan dari mengambil ruang dan waktu. Terhadap ayat-ayat yang mengandung makna sifat-sifat, seperti pernyataan bahwa Allah Swt. mempunyai wajah, tangan, mata dan lainnya, maka al-Maturidi berdiri pada posisi penta’wil dan berjalan di atas prinsipnya, yaitu membawa ayat-ayat yang mutasyabih kepada yang muhkam. Misalnya, ia menginterpretasikan firman Allah Swt.:
Artinya: “Lalu Dia bersemayam di atas ‘Arsy….”(QS. Al-A’raf, 7:54)
Ia menafsirkan dengan makna alternatif, yaitu bahwa Allah Swt. menuju ‘Arsy dan menciptakannya dalam keadaan rata, lurus dan teratur.
Menurut pendapat kami al-Maturidi dalam memahami sifat-siafat Allah Swt. hampir sependapat dengan aliran Mu’tazilah, yang mengatakan bahwa antara Dzat dan sifat-sifat Allah itu tidak terpisah. Sehingga dalam hal ini, jelas al-Maturidi lebih dekat dengan aliran Mu’tazilah.
2.      Melihat Allah Swt.
Ada beberapa nash Al-Qur’an yang menegaskan bahwa Allah Swt. dapat dilihat, seperti firtman Allah:
Artinya: “ Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhannyalah mereka melihat.” (QS. Al-Qiyamah, 75: 22-23)
Berdasarkan firman tersebut, al-Maturidi menetapkan bahwa Allah dapat dilihat pada hari kiamat. Ini dikarenakan pada hari kiamat itu merupakan salah satu keadaan khusus. Maka dari itu para penulis juga setuju dengan pendapat al-Maturidi di atas, apalagi diperkuat dengan firman Allah Swt. Surah Al-Qiyamah: 22-23, karena menurut pendapat kami pada hari kiamat manusia akan berjumpa atau melihat Allah Swt. (bagi orang-orang yang beriman). Namun dalam hal sifat dan bagaimana bentuk Allah Swt., hanya Dialah yang mengetahui, sebagaimana kita tidak mengetahui kapan terjadinya hari kiamat.
3.      Pelaku dosa besar
Al-Maturidi mengatakan bahwa orang mu’min yang berdosa adalah menyerahkan persoalan mereka kepada Allah Swt. Jika Allah Swt. menghendaki maka Dia mengampuni mereka sebagai karunia, kebaikkan dan rahmat-Nya. Sebaliknya, jika Allah Swt. menghendaki, maka Dia menyiksa mereka sesuai dengan kadar dosa mereka. Dengan demikian, orang mu’min berada di antara harapan dan kecemasan. Allah boleh saja menghukum dosa kecil dan mengampuni dosa besar, sebagaimana Dia telah berfirman:

Artinya: “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, Maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.” (QS. An-Nisa’, 4: 48)
Setelah Maturidiyah terpecah menjadi dua bagian, yakni aliran Samarkand dan Bukhara, ajaran aliran maturidiyah mengalami perbedaan dan ada juga yang sama di antara ke dua aliran ini, yakni sebagai-berikut:
4.      Mengenai pelaku dosa besar
Aliran Maturidiyah, baik Samarkand maupun Bukhara, sepakat menyatakan bahwa pelaku dosa besar masih tetap sebagai mukmin karena adanya keimana dalam dirinya. Adapun balasan yang diperolehnya kelak diakherat bergantung apa yang dilakukannya di dunia. Jika ia meninggal tanpa taubat terlebih dahulu, keputusannya diserahkan sepenuhnya kepada kehendak Allah SWT. Jika menghendaki pelaku dosa besar itu diampuni, ia akan memasukkannya keneraka, tetapi tidak kekal didalamnya.
Hal ini karena Tuhan telah menjanjikan akan memberikan balasan kepada manusia sesuai dengan perbuatannya. Kekal di dalam neraka adalah balasan untuk orang musyrik. Ini sesuai dengan firman Allah Swt. dalam Al-Qur’an Surrah An-Nissa’:48.
  1. Mengenai iman dan kufur
Dalam masalah iman, aliran Maturidiyah Samarkand berpendapat bahwa iman adalah tashdiq bi al-qalb, bukan semata-mata iqrar bi al-lisan. Ia berargumentasi dengan ayat Al-Qur’an surat Al-hujurat 14:
Artinya: “orang-orang Arab Badui itu berkata: “Kami telah beriman”. Katakanlah: “Kamu belum beriman, tapi Katakanlah ‘kami telah tunduk’, karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu; dan jika kamu taat kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia tidak akan mengurangi sedikitpun pahala amalanmu; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Hujurat, 49: 14)
Ayat tersebut di pahami Al-Maturidi sebagai suatu penegasan bahwa keimanan itu tidak cukup hanya perkataan semata, tanpa diimani pula oleh kalbu. Apa yang di ucapkan oleh lidah dalam bentuk pernyataan iman, menjadi batal bila hati tidak mengakui ucapan lidah.
Maturidiyah Bukhara mengembangkan pendapat yang berbeda. Al-Bazdawi menyatakan bahwa iman tidak dapat berkurang, tidak bisa bertambah dengan adanya ibadah-ibadah yang dilakukan. Al-Bazdawi menegaskan hal tersebut dengan membuat analogi bahwa ibadah-ibadah yang dilakukan berfungsi sebagai bayangan dari iman. Jika bayangan itu hilang, esnsi yang digambarkan oleh bayangan itu tidak akan berkurang. Sebaliknya, dengan kehadiran baying-bayang (ibadah) itu, iman justru menjadi bertambah.
2.      Mengenai perbuatan Tuhan dan perbuatan manusia
Mengenai perbuatan Tuhan
Mengenai perbuatan Allah SWT. ini, terdapat perbedaan pandangan antara Maturidiyah Samarkad dan Maturidiyah Bukhara. Aliran Maturidiyah Samarkad, yang juga memberikan batas pada kekuasaan dan kehendak mutlak tuhan, pendapat bahwa perbuatan Tuhan hanya menyangkut hal-hal yang baik saja. Demikian juga pengiriman rasul dipandang Maturidiyah Samarkand sebagai kewajiban Tuhan.
Maturidiyah Bukhara memiliki pandangan yang sama dengan Asy’ariyah mengenai faham bahwa Tuhan tidak mempunyai kewajiban. Namun, sebagaimana yang dijelaskan oleh Bazdawi, Tuhan pasti menempati janji-Nya, seperti memberi upah kepada orang yang berbuat baik, walaupun Tuhan mungkin saja membatalkan ancaman bagi orang yang berdosa besar.  Adapun pandangan Maturidiyah Bukhara tentang pengiriman rasul, sesuai dengan faham mereka tentang kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan, tidaklah bersifat wajib dan hanya bersifat mungkin saja.
3.      Mengenai perbuatan Manusia
Ada perbedaan antara Maturidiyah Samarkand dan Maturidiyah Bukharah mengenai perbuatan manusia. Kehendak dan daya berbuat pada diri manusia, menurut Maturidiyah Samarkand, adalah kehendak dan daya manusia dalam arti kata sebenarnya dan bukan dalam arti kiasan, maksudnya daya untuk berbuat tidak diciptakan sebelumnya, tetapi bersama-sama dengan perbuatannya. Sedangkan Maturidiyah Bukharah memberikan tambahan dalam masalah daya. Manusia tidak mempunyai daya untuk melakukan perbuatan, hanya Tuhanlah yang dapat mencipta, dan manusia hanya dapat melakukan perbuatan yang telah diciptakan Tuhan bagi-Nya.
4.      Mengenai sifat-sifat Tuhan
Maturidiyah Bukhara berpendapat Tuhan tidaklah mempunyai sifat-sifat jasmani. Ayat-ayat Al-Qur’an yang menggambarkan Tuhan mempunyai sifat-sifat jasmani haruslah diberi ta’wil.
Sedangkan golongan Samarkand mengatakan bahwa sifat bukanlah Tuhan, tetapi tidak lain dari Tuhan. Dalam menghadapi ayat-ayat yang memberi gambaran Tuhan bersifat dengan menghadapi jasmani ini. Al-Maturidi mengatakan bahwa yang dimaksud dengan tangan, muka, mata, dan kaki adalah kekuasaan Tuhan.
1.      Mengenai kehendak mutlak Tuhan dan keadilan Tuhan
Kehendak mutlak Tuhan, menurut Maturidiyah Samarkand, dibatasi oleh keadilan Tuhan. Tuhan adil mengandung arti bahwa segala perbuatannya adalah baik dan tidak mampu untuk berbuat buruk serta tidak mengabaikan kewajiban-kewajiban-Nya terhadap manusia. Adapun Maturidiyah Bukhara berpendapat bahwa Tuhan memiliki kekuasaan mutlak. Tuhan berbuat apa saja yang dikehendaki-Nya dan menentukan segala-galanya. Tidak ada yang menentang atau memaksa Tuhan dan tidak ada larangan bagi Tuhan.
5.      Sekte-sekte atau Aliran-Aliran Maturidiyah
Berdasarkan beberapa referensi yang kami peroleh, aliran Maturidiyah dapat digolongkan menjadi dua bagian yaitu:
1.      Golongan Samarkand
Yang menjadi golongan ini adalah pengikut-pengikut Al-Maturidi sendiri. Golongan ini cenderung ke arah faham Asy’ariyah, sebagaimana pendapatnya tentang sifat-sifat Tuhan. Dalam hal perbuatan manusia, maturidi sependapat dengan Mu’tazilah, bahwa manusialah yang sebenarnya mewujudkan perbuatannya. Al-Maturidi berpendapat bahwa Tuhan memiliki kewajiban-kewajiban tertentu.
2.      Golongan Bukhara
Golongan ini dipimpin oleh Abu Al-Yusr Muhammad Al-Bazdawi. Dia merupakan pengikut Maturidi yang penting dan penerus yang baik dalam pemikirannya. Nenek Al-Bazdawi menjadi salah satu murid Maturidi. Jadi yang dimaksud dengan golongan Bukhara adalah pengikut-pengikut Al-Bazdawi dalam aliran Al-Maturidiyah. Walaupun sebagai pengikut aliran ­Al-Maturidiyah, AL-Bazdawi selalu sefaham dengan Maturidi. Ajaran teologinya banyak dianut oleh umat islam yang bermazhab Hanafi. Dan hingga saat ini pemikiran-pemikiran Al-Maturidiyah masih hidup dan berkembang di kalangan umat Islam.