Minggu, 30 Oktober 2011


Suara Hati Seorang Ibu, Wajib Dibaca Untuk Kaum Hawa

Sahabat, ini adalah petikan suara hati seorang umi. Umi adalah nama lain dari ibu.  Taukah sahabat? mungkin suara hati ini tidak cuman suara hati perseorangan, namun mungkin ini juga merupakan suara hati ibu kita. Ibu dari ibu-ibu yang ada di permukaan bumi ini. Selamat menyimak..
Anakku yang ku kasihi…
Tanpa disadari oleh kita masa berlalu terlalu cepat dan kau yang ketika dulu masih kecil, manja dalam pelukan umi, kini telah menjadi gadis remaja dan telah mula belajar arti kehidupan. Zaman yang kau lalui dan alami kini adalah zaman yang penuh pancaroba, penuh dugaan dan cobaan. Cobaan yang sering mengganggu iman dan hatimu, perasaan dan nafsumu, kewibawaan dan tugas-tugasmu. Ketika inilah kau, kau ingin merasakan semua keadaan, semua kenikmatan hidup. Kau ingin menjadi manusia yang dipuja dan disanjung banyak orang.Kau ingin disayangi dan menyayangi.

Anakku sayang,
Jika tiada iman, niscaya lunturlah segala kekuatan, hancurlah segala kebaikan. Oleh itu, umi berpesan agar engkau berhati-hati dalam berfikir dan bertindak, batasilah kehendakmu dengan rasa takut pada Allah karena tidak ada orang yang tidak dicatat amal dosanya, tidak ada orang yang dikecualikan, termasuk kau. Pernah seorang soleh berkata,”seorang remaja jika dapat melalui cobaan hidupnya dengan baik, tenang dan penuh kebaikan, mampu menolak kehendak-kehendak nafsu, maka percayalah dia manusia yang paling sukses selama hidupnya. Manakala seorang pemuda yang gagal menggunakan masa remajanya untuk mencari kebaikan, rugilah ia dan celakalah hidupnya esok dan yang akan datang”.

Wahai anakku sayang..
Seringkali umi menangis, melihat perubahan pada dirimu. Dulu, kau tidak begini. Engkau seorang yang taat pada perintah ibu, yang malu bila auratmu terbuka, walaupun tertiup angin. Kau amat teliti dan hati-hati dalam menjaga sholat-sholatmu dan kau suka bila umi ceritakan tentang ketokohan wanita-wanita dahulu. Anakku sayang.. ibu tanam satu harapan padamu, kiranya bila kau besar nanti, kau akan menjadi orang solehah.

Wahai Anakku…
Wanita itu dijadikan Allah dengan dipenuhi keindahan, unik dan menakjubkan. Pandai-pandailah kau hargai nikmat yang telah diberikan itu. Jikapun kau cantik, jangan biarkan kau dikuasai rasa takjub, bangga atas keindahan wajahmu. Masih banyak orang yang mempunyai kelebihan diatas mu. Jangan kau permainkan perasaan lelaki atas kejelitaan wajahmu. Jagalah, syukurilah dan takutlah kepada Allah atas balasan azab yang dijanjikan untuk mereka yang berdosa. Jagalah auratmu sentiasa terutama apabila berurusan dengan lelaki. Tanamkan rasa malu di hatimu. Tanamkan sifat sombong dan penakut pada lelaki yang bukan muhrimmu. Biarlah kau dipandang mata tidak secantik bunga lily yang bangun bagai pelangi di cakrawala asalkan kau dapat pertahankan sebutan sebagai wanita solehah di sisi Allah. Dan tentunya kau dipandang paling cantik di sampingNya.

Anakku sayang…
Saat kau berpakaian, maka sebenarnya untuk menutup kulitmu, untuk melindungi bentuk badanmu daripada pandangan lelaki jalanan. Oleh itu, pakaianmu hendaklah longgar, tidak tipis dan satu lagi anakku, pakaian mu itu tidak menyerupai pakaian wanita-wanita yang dihatinya tidak ada rasa takut akan adzab Allah. Perhatikan hadith ini…”Sesungguhnya antara penduduk neraka ialah wanita-wanita yang berpakaian tetapi telanjang(pakaiannya tidak berfungsi sebagai alat untuk menutup aurat), perempuan-perempuan yang condong kepada maksiat dan berusaha menarik orang lain melakukan maksiat. Mereka ini tidak mungkin akan masuk surga selama-lamanya dan tak akan dapat mencium baunya selama-lamanya. Jangan kau merasa dirimu terlalu gagah hingga kau sanggup melanggar hukum-hukum Allah dengan sengaja. Apatah lagi jika melanggar peraturannya dengan rasa bangga dan sombong, ingkarmu terhadap hukum-hukum itu, samalah maknanya kau melawan Tuhanmu, sedangkan kau cuma seorang hamba dan Allah itu Tuhanmu, Maha Memiliki segala isi langit dan bumi.

Wahai Anakku Sayang…
Sabarlah dalam melaksana perintah-perintah Allah biarpun kau merasakan  beratnya. Setiap petunjuk Allah itu tak ada yang sia-sia. Sesungguhnya Allah tak pernah memberati hambaNya apalagi menzaliminya. Sabar yang kau lakukan niscaya dilihat Allah, dan Dia pastinya akan mengurniakan buatmu ganjaran pahala yang besar. Tanamkan rasa kasih pada Allah wahai anakku. Bila kau menyayangi seseorang, tentunya segala perintahnya akan kau turuti tanpa bantahan. Begitulah dengan perintah Allah, turutilah wahai anakku, ikutilah tanpa protes. Moga kau dikurniakan kekuatan untuk mengikut langka-langkah yang diredhai Allah. Itulah doa dan harapan umi wa abi...
Dari seorang ibu yang sangat mencintai anaknya

Aku Ingin Mama Kembali

Aku Ingin Mama Kembali

Minggu, 23 Oktober 2011

Analisi Pemahaman Qadariyah


BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkembangan pemikiran teologi dalam dunia Islam kian hari kian menjamur, tak pelak kadang hal ini menimbulkan berbagai pertentangan pemahaman antar kelompok, masing-masing kelompok mempertahankan pendapatnya masing-masing dengan dalil-dali yang begitu meyakinkan baik dalil tersebut bersumber dari nash-nash agama (Naqli) maupun yang bersumber dari pemikiran rasional (Aqli) semuanya mengklaim bahwa mereka yang paling benar diantara pemahaman kelompok yang lain.

Perbedaan pemahaman ini sudah terjadi dari sejak masa-masa keemasan islam, terutama pada tahun 70 Hijriyah dimana pada waktu itu muncul dua golongan besar yang mempertentangkan tentang takdir dan kekuasaan manusia dalam segala tindak tanduknya. Kedua golongan ini dikenal dengan istilah Qadariyah dan Jabariyah, dimana kedua golongan ini sama-sama mempertahankan pendapatnya masing-masing yang jauh bersimpangan diantara keduanya, bahkan kalau bisa dikatakan kedua golongan ini di ibaratkan langit dan bumi.

Kelompok yang satu mengatakan bahwa manusia tiada memilki daya dan upaya untuk menentukan nasibnya, semuanya tergantung pada takdir Tuhan, dan manusia tidak dituntut untuk mempertanggung jawabkannya, sedangkan kelompok lainnya berpendapat sebaliknya yaitu Tuhan tidak ikut campur dalam penentuan nasib manusia, melainkan tergantung sejauh mana usaha manusia itu untuk menentukan perjalanan hidupnya, namun demikian manusia dituntut untuk mempertanggung jawabkan segala apa yang telah ia perbuat.

Dalam perjalanan pemikiran Islam dari jaman munculnya kedua kelompok ini sampai saat ini faham kedua kelompok ini terus saja menjadi perbincangan dikalangan ulama’ dan para pemikir kontenporer, hal ini kemungkinan besar adalah disebabkan kedua faham ini dianggap bertentangan dengan nash-nash syari’at walupun benar salahnya kedua pemahaman ini masih belum dapat dipastikan, hal ini diakibatkan karena perbedaan interpretasi dari teks-teks agama dan perbedaan teks-teks agama yang dijadikan dasar pijakan berfikir oleh masing-masing kelompok.

Oleh karena hal tersebut penulis merasa tertarik untuk mendalami faham keduanya, namun dalam penulisan makalah ini penulis sengaja hanya memilih salah satu dari kedua aliran tersebut yaitu aliran Qadariyah, bagaiman latar belakang kemunculannya, faham-fahamnya dan penulis akan mencoba juga menganalisis pemikiran aliran ini, apakah faham-faham yang mereka cetuskan itu beriringan dengan nash-nash atau malah sebaliknya? Karena disadari ataupun tidak aliran Qadariyah sampai saat ini masih meringkuk dalam hati umat Islam yang hanya mengikuti kata akalnya saja, atau malah bersikap apatis terhadap faham-faham seperti ini.

Berangkat dari hal tersebut diatas maka penulis memutuskan mengangkat judul “Analisis Kritis Terhadap Pokok-Pokok Pemikiran Qadariyah”
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas penulis dapat merumuskan beberapa masalah yang akan dijadikan pokok pembahasan dalam penulisan makalah ini, diantaranya:
1. Apa Yang dimaksud dengan Qadariyah
2. Bagaimana latar belakang kemunculan aliran Qadariyah?
3. Seperti apakah faham-faham qadriyah?
4. Dapatkah kita menjadikan faham Qadariyah sebagai pijakan dalam kehidupan beragama?

C. Tujuan Penulisan
Makalah ini adalah sebuah tulisan yang disusun dan direncanakan oleh penulis, hal ini menunjukkan bahwa ada tujuan yang ingin dicapai oleh penulis dalam penulisan makalah ini, tujuan-tujuan tersebut adalah:
1. Mengetahui Esensi Qadariyah
2. Mengetahui latar belakang kemunculan aliran Qadariyah
3. Mengetahui Faham-Faham Qadariyah
4. Menganalisis pokok-pokok pemikiran Qadariyah benar atau tidaknya pemahaman seperti ini menurut nash-nash agama atau malah sebaliknya.

BAB II
PEMBAHASAN
A. Sekilas Tentang Qadariyah
Secara etimologi kata Qadariyah berasal dari suku kata Qadara yang mempunyai arti kemampuan dan Kekuatan adapun secra terminology “Qadariya” adalah suatu aliran yang percaya bahwa segala perbuatan manusia tidak di intervensi oleh Tuhan
Perlu diperhatikan bahwa di sini penulis menggunakan istilah Qadariyah untuk orang-orang yang mendukung aliran “kebebasan kehendak manusia” demi mengikuti istilah yang dikenal di kalangan para ahli teologi Islam, seperti pada galibnya dimaksudkan dalam kebanyakan riwayat. Padahal kata Qadariyah ini kadang-kadang juga digunakan oleh sebagian ahli ilmul-kalam dan pada sebagian riwayat, guna menunjuk kepada kaum Jabariyah yang tidak mengakui kebebasan kehendak manusia.

Saling klaim ini mungkin diakibatkan oleh kata dasar yang digunakan dalam istilah Qadariyah, karena jika قدر yang dimaksud disini mempunyai arti berkuasa, maka Qadariyah adalah orang-orang yang percaya akan kebebasan manusia dalam menentukan jalan hidupnya, dan jika قدر yang dimaksud disini adalah menentukan, maka Qadariyah berarti adalah orang-orang beranggapan bahwa manusia adalah makhluk pasif, semua yang dikerjakannya tergantung pada ketentuan Tuhan (takdir).

Dalam kenyataannya, mereka semua, baik yang mendukung teori Jabariyah (determinisme takdir) yang menyatakan adanya kekuasaan takdir secara umum (menyeluruh), ataupun orang-orang yang mendukung teori kebebasan manusia dan penafian peran takdir dalam perbuatan-perbuatan manusia; menghindarkan diri dari sebutan Qadariyah ini, seraya menjuluki kelompok lainnya dengan nama tersebut. Rahasia sikap ini ialah adanya riwayat hadis Rasul saw. yang menyebutkan: “Kaum Qadariyah adalah Majusinya umat ini.” (H.R. Abu Daud) Karena itu, kaum Jabariyah mengatakan bahwa yang dimaksud dengan “kaum Qadariyah” ialah orang-orang yang mengingkari qadar (takdir) Ilahi, sementara lawan-lawan mereka berkata bahwa kaum Qadariyah ialah orang-orang yang mengembalikan segala sesuatu, harta perbuatan manusia, kepada qadha dan qadar. Namun penulis mengikuti kebanyakan ulama’ yang mengatakan, bahwa Qadariyah adalah kelompok yang menafikan keberadaan takdir akan setiap tindak tanduk manusia.

Mungkin penyebab lebih dikenalnya sebutan Qadariyah untuk para pengingkar takdir adalah :
1. Tersebar luasnya mazhab Asy’ariyah, sehingga menjadikan kaum Mu’tazilah sebagai minoritas di hadapan kaum Asy’ariyah yang mayoritas.

2. Tuduhan adanya kesamaan antara kaum Qadariyah dengan penganut agama Majusi. Sebab, yang diketahui bahwa kaum Majusi membatasi takdir Ilahi hanya pada apa yang mereka namakan “kebaikan” saja, sedangkan “kejahatan” berada di luar takdir Ilahi, dan bahwa pelakunya adalah wujud setan pertama yang mereka namakan Ahriman .
Jadi dapat ditarik kesimpulan bahwa Qadariyah. adalah orang-orang yang berpendapat menolak keberadaan takdir. Sehingga mereka meyakini bahwa hamba memiliki kehendak bebas dan kemampuan berbuat yang terlepas sama sekali dari kehendak dan kekuasaan Allah.

Orang yang mula-mula menfatwakan faham Qadariyah ini adalah Ma’bad al-Juhani dan Ghailan ad Dimasyqi. Ma’bad al-Juhani sendiri adalah seorang tabi’in generasi kedua sesudah nabi Muhammad yang pernah belajar bersama Wasil bin Atha (Imam kaum muktazilah) kepada Syaikh Hasan Basri di Basrah, sedangkan Ghailan Al-Damisyqi adalah penduduk kota Dimsyaq (Syiria), bapaknya adalah salah seorang yang pernah bekerja pada Khalifah Utsman Bin Affan. Ia datang ke Dimsyaq pada masa Khalifah Hisyam Bin Abdul Malik, salah seorang Khalifah Bani Umayyah yang berkuasa dari tahun 105 sampai 125 H. selain sebagai seorang tokoh Qadariyah Ghailan juga adalah pemuka golongan Murji’ah dari kelompok Al-salihiah.

Sedangkan menurut al-Zahabi, Ma’bad adalah sorang tabi’ien yang baik tetapi ia kemudian bermain diranah politik dan memihak Abd. Rahman Ibn al-Asy’as Gubernur Sajistan, dalam menentang kekuasan dan system pemerintahan Bani Umayyah, dan pada saat pertempuran melawan Al-Hajjaj akhirnya Ma’bad mati terbunuh hal ini terjadi pada tahun 80 H.

Hal inilah yang memungkinkan Yusran Asmun berpendapat, bahwa munculnya pemahaman Qadariyah jika dipandang dari sudut pandang politik adalah sebagai isyarat menentang politik Bani Umayyah, hal ini dikarenakan kehadiran kelompok Qadariyah diwilayah kekuasaanya selalu mendapatkan tekanan, bahkan pada waktu Abdul Malik Bin Marwan memegang tampuk kekuasaan, kelompok ini bisa dikatakan lenyap sama sekali, tapi hanya untuk sementara, sebab dalam perkembangan selanjutnya pokok-pokok pemikiran ini kembali merebak saat munculnya kelompok Mu’tazilah.

Setelah kematian sahabatnya, Ghailan meneruskan misi besarnya dalam menyebar-luaskan faham Qadariyah, hal ini kemudian mengundang reaksi keras dari kalangan pemerintah yang pada waktu itu dipimpin oleh Umar Bin Abd. Aziz. Setelah, Umar Bin Abd. Aziz meninggal Ghailan terus menyebarkan ajarannya, hingga akhirnya maut pun menjemputnya ketika pemerintah menjatuhkan hukuman mati padanya pada masa pemerintahan Hisyam Bin Abd. Malik (724-743 M.).

Menurut Rosihon Anwar & Abdul Rozak berdasarkan penemuan dokumen W. Montogomy Watt yang ditulis oleh Hellmut Ritter dalam bahasa Jerman yang di-publikasikan melalui majalah Der Islam pada tahun 1933, faham Qadariyah terdapat pada kitab Risalah yang ditulis oleh Hasan Al-Basri untuk Khalifah Abdul Malik pada tahun 700 M.
Namun demikian, kelompok ini diperkirakan muncul pada tahun 70 H. bertepatan dengan tahun 689 M. adapun tempat yang menjadi markas dari penyebaran faham kelompok ini masih terjadi perselisihan pendapat diantara kalangan para sejarawan Islam, ada yang mengatakan di Irak dan ada yang mengatakan di Baghdad, kemungkinan kebenarannya sama-sama besar karena pada abad ke II dan ke III H. didua tempat inilah terjadinya pergolakan pemahaman.

Menurut Ibn Natabah Ma’bad al-Juhani dan Ghailan al-Damisyqi mengambil faham ini dari seorang Kristen yang masuk Islam di Irak, kemudian kembali lagi ke agama asalnya, ia dikenal dengan nama Susan. Namun pandapat ini masih diragukan kebenarannya karena diyakini bahwa pendapat semacam ini hanyalah rekayasa orang-orang yang dihembuskan oleh orang-orang yang tidak setuju sama sekali dengan faham yang dibawa oleh kelompok ini.

Setelah kematian kedua pembesarnya, faham ini kembali berkembang pesat ketika munculnya golongan Mu’tazilah hal ini terbukti ketika salah seorang Imam Mu’tazilah, Ibrahim Sayar Al-Nazam (w. 211 H.) menyebar luaskan pemahaman ini ia menuai banyak simpati dari masyarakat.

Sampai saat ini -setelah lama tak terdengar- faham ini kembali merebak walaupun itu hanya sebatas ungkapan-ungkapan belaka seperti ungkapan “bagaimanapun juga tokh pada akhirnya manusia juga yang dapat menentukan nasibnya” dan lain sebagainya, yang menitik beratkan segalanya pada perbuatan manusia belaka. Hal ini mungkin disebabkan karena akal fikiran kebanyakan orang kerap kali dikuasai penuh oleh akal dan fikirannya, dan memang semua doktrin-doktrin yang dicetuskan oleh Qadariyah, semuanya bertumpu pada rasionalitas pemikiran manusia, walau pun sebagaimana diungkapkan diatas, pemikiran ini bukanlah tanpa pijakan, akan tetapi banyak sekali ayat yang mendukung akan rasionalisasi faham ini.

B. Doktrin-Doktrin Qadariyah
Dalam kitab Al-Milal wa An-Nihal, pembahasan masalah Qadariyah disatukan dengan pembahasan tentang doktrin-doktrin Mu’tazilah, sehinggga perbedaan antara kedua aliran ini kurang begitu jelas.

Namun demikian, sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya bahwa Qadariyah adalah kelompok yang menafikan takdir Tuhan, dalam artian bahwa manusia menciptakan perbuatannya sendiri dengan kodrat yang telah diberikan oleh Tuhan ketika mereka lahir kealam maya pada ini, Tuhan tidak ada sama sekali hubungannya dengan manusia sekarang, dan bahkan Tuhan pun tidak tahu akan apa yang akan dikerjakan oleh manusia, baru ketika manusia mengerjakannya baru pada saat itu Tuhan mengetahuinya.
Adapun hubungan manusia dengan Tuhannya adalah masalah pahala dan siksa, dimana ketika manusia melakukan perbuatan yang baik maka Tuhan akan memberikannya pahala karena telah menggunakan qodrat yang telah diberikan-Nya pada sesuatu yang baik, sebaliknya Tuhan akan menghukum atau memberikan siksaan kepada manusia ketika ia melakukan perbuatan jelek karena telah menggunakan qodrat yang telah diberikan oleh-Nya pada sesuatu yang jelek .

Harun Nasution menjelaskan pendapat Ghailan, sebagaimana dikutip oleh Rosihon Anwar & Abdul Rozak, “bahwa manusia berkuasa atas perbuatan-perbuatannya, manusia sendirilah yang melakukan perbuatan baik atas kehendak dan kekuasaannya sendiri, dan manusia sendiri pula yang mengerjakan atau menjahui perbuatan jelek atas kemauan dan daya yang ia milki pendapat Ghailan ini dipertahankan dihadapan Al-Awza’i ketika ia akan di eksekusi mati oleh pihak pemerintahan Hisyam Bin Abdul Malik, dimana pemerintah pada saat itu ingin mengetahui yang sebenarnya faham yang dibawa oleh tokoh Qadariyah ini, oleh karena itu diadakanlah perdebatan antara Ghailan dan Al-Awza’i.

Salah seorang pemuka Qadariyah yang lain, An-Nazam, mengemukakan bahwa manusia hidup mempunyai daya, ia berkuasa atas segala perbuatannya
Di antara mereka ada yang ekstrim dan ada yang tidak. Namun yang tidak ekstrim ini menyatakan bahwa terjadinya perbuatan hamba bukan karena kehendak, kekuasaan dan ciptaan Allah.

Dari beberapa penjelasan diatas dapat fahami bahwa doktrin Qadriyah pada dasarnya menyatakan bahwa segala tingkah laku manusia dilakukan atas kehendaknya sendiri. Manusia mempunyai kewenangan untuk melakukan segala perbuatan atas kehendaknya sendiri, baik berbuat baik maupun jahat. Oleh karena itu, ia berhak mendapatkan pahala atas kebaikan yang dilakukannya dan juga berhak mendapat hukuman (siksa) atas kejahatan yang diperbuatnya. Dalam kaitan ini, bila seseorang diberi ganjaran baik dengan balasan surga atau pun neraka kelak diakhirat itu suatu hal yang semestinya, karena apa yang telah ia kerjakan adalah murni atas kehendaknya sendiri, tidak ada sangkut pautnya dengan Tuhan, sebaliknya sungguh tidak pantas apabila manusia menerima siksaan apabila apa yang telah diperbuatnya bukan atas keinginannya sendiri, melainkan ada intervensi Tuhan.

Faham takdir dalam pandangan Qadariyah bukanlah dalam pengertian takdir yang biasa dipakai oleh bangsa Arab pada waktu itu, yaitu faham yang mengatakan bahwa segala sesuatu berkenaan dengan manusia telah digariskan oleh yang Maha Kuasa, manusia hanya mampu untuk berperan sebagai pelaku dari garis-garis yang telah ditentu-kan oleh Tuhan sejak zaman azali. Dalam faham Qadariyah takdir itu adalah ketentuan Allah yang diciptakan-Nya bagi alam semesta beserta seluruh isinya, sejak azali, yaitu hukum yang oleh Al-Qur’an biasa di istilahkan dengan sunnatullah
Faham yang diajukan oleh kelompok ini bukan hanya berdasarkan rasionalitas pemikiran saja akan tetapi ada nash-nash Al-Qur’an yang dijadikan sebagai penopang akan pendapatnya, diantarnya adalah:
فمن شاء فليؤمن ومن شاء فليكفر ....................... (الكهف:٢٩)
Artinya:
“……… Maka barang siapa yang mau berimanlah dia, dan barang siapa yang ingin kafir, biarkanlah ia kafir (Al-Kahfi: 29)
Terlihat jelas dalam ayat ini menurut mereka bahwa Tuhan memberikan kebebasan kepada sekalian manusia untuk menentukan apakah ia mau beriman atau malah sebaliknya, hal ini menunjukkan bahwa manusialah yang menentukan arah hidupnya sendiri bukan Tuhan dalam ayat yang lain disebutkan

إن الله لا يغير ما بقوم حتى يغيروا ما بأنفسهم ............. (الرعد: ۱۱)
Artinya:
“sesungguhnya Allah tiada akan merubah keadaan satu bangsa, kecuali jika mereka mengubah keadaan mereka sendiri………” (Al-Ra’du: 11)
Lihatlah dan perhatikan ayat ini! dimana menurut mereka. “Tuhan tidak kuasa dan bisa merubah nasib manusia kecuali kalau mereka sendiri yang merubahnya, kekuasaan Tuhan dalam soal ini tidak ada lagi, karena kekuasaan itu sudah diberikan secara penuh kepada manusia ayat berikut ini pun dijadikan sebagai pijakan berfikir mereka
ومن يعمل سوءا أو يظلم نفسه ثم يستغفرالله يجدالله غفورارحيما ومن يكسب إثما فإنما يكسبه على نفسه............. (ألنساء: ۱۱۱-۱۱۰)
Artinya:
“Dan barang siapa yang mengerjakan kejahatan atau menganiaya dirinya sendiri, kemudian ia meminta ampun kepada tuhan, niscaya akan diperolehnya, bahwasanya Tuhan itu Maha Pengampun dan Maha Penyayang ¬, dan barang saiapa melakukan suatu dosa, maka sesungguhnya ia melakukannya untuk merugikan dirinya sendiri……… “(An-Nisa’: 110-111)
Dalam ayat ini, kata mereka, bahwa manusia sendirilah yang membuat dosanya, bukan Tuhan, kalau Tuhan yang membuat dosa hamba-Nya tentulah Ia menganiaya hamba-Nya, dan ini mustahil karena sampai kapan pun Tuhan tidak mungkin bersifat aniaya . Perhatikan juga ayat berikut!
إنا هديناه السبيل إما شاكرا أو كفورا...... (الدهر:۳)
Artinya:
“Sesungguhnya Kami telah menunjukkan jalan kepadanya, ada kalanya ia menjadi orang yang bersyukur dan adakalanya ia menjadi orang yang kufur (Ad-Dahr: 3)
Ayat ini menjelaskan bahwa kafir atau syukur semuanya manusia yang berbuat Tuhan tidak ada sangkut pautnya sedikit pun akan semua itu . Dan ayat terakhir ini pun demikian juga
أو لما أ صابتكم مصيبة قد أصبتم مثليها قلتم أنى هذا صلى قل هو من عند أنفسكم .... (ألـ عمران: ١٦٥)
Artinya:
“Adakah patut, ketika kamu ditimpa musibah (pada Perang Uhud), padahal telah mendapat kemengan dua kali (pada Perang Badar) lalu kamu berkata: “dari manakah datangnya musibah itu?” katakanlah, “sebabnya adalah dari kamu sendiri” Ali-Imran: 165)

Terkait ayat ini pun mereka berargumen, bahwa kekalahan kaum muslimin pada waktu peperangan Uhud itu semua diakibatkan oleh kelalaian dan kedurhakaan pasukan panah terhadap perintah Rasulullah saw., dimana mereka diperintahkan agar tidak meninggalkan tempat mereka walau apa pun yang terjadi, tapi karena tergiur akan harta rampasan perang mereka meninggalkan tempat mereka, hingga akhirnya pasukan musuh memporak-porandakan pasukan muslim pada waktu itu. hal ini pun menunjuk-kan bahwa kesalahan pada waktu itu sepenuhnya berada ditangan kaum muslimin (pasukan panah) tidak ada sangkut pautnya dengan Tuhan
Demikianlah sekelumit tentang faham yang dicetuskan oleh kelompok Qadariyah benar atau salahnya Tuhan jualah yang tahu.

C. Analisis Kritis Terhadap Doktrin-Doktrin Qadariyah
Sebagaimana telah dipaparkan pada pembahasan sebelumnya, tentang faham-faham yang telah dihasilkan dari proses berfikir golongan ini, penulis rasa ada penting-nya apabila menelaah faham tersebut guna memastikan apakah memang betul bahwa aliran ini salah atau malah sebalkinya? Namun uraian dibawah ini bukanlah bisa di katakan benar, karena kemampuan orang jelas berbeda.

Sebelum lebih lanjut dibicarakan tentang hal ini, baiknya kita kilas balik terlebih dahulu pada tahun dimana golongan ini muncul, saat munculnya aliran ini, tak urung menimbulkan tantangan keras dari masyarakat Arab pada waktu itu, ada beberapa alasan mengapa aliran ini begitu ditentang oleh bangsa Arab pada waktu itu:

Pertama, bangsa Arab sebelum masuknya Islam adalah satu bangsa yang hidup sangat sederhana dan jauh dari ilmu pengetahuan, mereka selalu terpaksa mengalah pada ganasnya alam, panas yang menyengat, serta tanah dan gunungnya yang gundul, mereka merasa dirinya lemah dan tak mampu menghadapi kesukaran hidup yang ditimbulkan oleh alam sekelilingnya, yang kemudian faham ini dikenal dengan istilah Fatalisme (kepercayaan bahwa nasib menguasai segala-galanya) dan faham ini terus mereka pertahankan kendatipun mereka sudah memeluk agama islam, oleh karena itu ketika faham Qadariyah dikembangkan, mereka tidak dapat menerimanya karena dianggap bertentangan dengan doktrin Islam.

Kedua, kalangan pemerintah yang notabene penganut faham Jabariyah juga menentang mati-matian akan berkembangnya faham semacam ini, hal ini kemungkinan disebabkan ketakutan pemerintah pada saat itu pada aliran ini, mereka khawatir hadirnya faham ini akan mengerogoti kekuasaan mereka karena faham ini dianggap sesuai dengan dinamisasi dan daya kritis kebanyakan rakyat, yang pada gilirannya nanti rakyat akan menentang kebijakan-kebijakan pemerintah bahkan tidak menutup kemungkinan akan mampu menggulingkan kekuasaan mereka.

Berkaiatan dengan pemahaman Qadariyah tentang hubungan manusia dengan tuhannya (dalam hal ini yang dimaksud adalah Takdir) timbul berbagai macam pertanyaan, seperti: jika memang manusia yang menciptakan perbuatannya sendiri lalu daya yang ia gunakan itu milik siapa dan siapa yang membuatnya? Kalau mungkin dijawab bahwa itu juga milik dan diciptakan oleh manusia, maka akan timbul pertanyaan lain, Apakah manusia sendiri yang mewujudkan perbuatannya ataukah daya Tuhan turut mempunyai bagian dalam mewujudkan perbuatan itu?

Jawaban untuk itu dapat diperoleh ketika seseorang mau berfikir keras tentang sifat kekuasaan dan kehendak Tuhan, dan bahwa Pencipta alam ini hanya satu yaitu Tuhan, jika tetap beranggapan bahwa segala tindak tanduk manusia diciptakan sendiri, berarti ada ribuan pencipta dipermukaan bumi ini, berarti semuanya adalah Tuhan.
Faham ini pun seakan menunjukkan bahwa tuhan itu hanyalah dzat yang mau terima jadinya, tidak menentukan, tidak memeberikan kerangka, atau setidak-setidaknya mengetahui apa yang akan dikerjakan oleh makhluk ciptaanya, Tuhan itu berarti pasif dan tidak mau tahu akan urusan makhluknya, jika demikian untuk apa Dia jadi Tuhan apabila tahunya hanya memberikan siksa dan pahala?

Ada dua metode untuk memahami pola hubungan kekuasaan Tuhan dengan perbuatan manusia
1. Pemahaman secara Syar’ie
Kekuasaan Tuhan adalah mutlak atas semua yang dialami makhluk, termasuk perbuatan manusia. Dia berkehendak dan berbuat secara mutlak, maka tidak ada sesuatu apapun yang terjadi pada manusia muncul dari kekuatan manusia sendiri, Malainkan hanya dengan kehendak dan kekuasaan-Nya.

Dengan demikian segala pekerjaan manusia tidak diciptakan oleh manusia sendiri, melainkan diciptakan oleh Tuhan, sedangkan bersamaan dengan wujud perbuatan itu manusia memilki andil yang biasa disebut dengan kasab (usaha).

Sehubungan dengan hal ini maka keadilan Tuhan adalah apa yang dikehendaki dan diperbuat-Nya Dia menghukum masuk neraka dan memberi pahala masuk surga bukanlah dari daya upaya manusia akan tetapi mutlak sesuai dengan yang Ia kehendaki, akan tetapi tidak mungkin juga Allah dengan sembarangan menyiksa dan memberi pahala kepada makhluknya dengan tanpa alasan, itu namanya Tuhan ngaur, sembrono dan lain sebaginya padahal semua itu tidak mungkin dimilki oleh Tuhan.

Kenapa Allah dikatakan adil dalam hal ini? Karena semua makhluk yang berpijak baik dibumi, laut, langit dan diantarnya adalah semuanya milik Tuhan, jadi apakah dapat disalahkan ketika seseorang menginfakkan harta miliknya sendiri? Tuhan pun demikian, Ia tidak akan dikatakan dzalim dengan apa yang telah di-perbuat untuk makhluk-Nya, karena semuanya adalah milik-Nya.
Penjelasan tentang kekuasaan Allah akan segala tindak tanduk manusia di-perkuat dengan satu ayat:
وما تشاءون إلا أن يشاء الله رب العالمين (التكوير:٢٩)
Artinya:
“Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Tuhan semesta alam.” (Al-Takwir:29)
2. Pemahaman secara Haqiqi
Tuhan adalah Dzat Yang Maha Berkehendak lagi Maha Kuasa atas semua ciptaan-Nya, pengatur atas segala apa yang Ia ciptakan. Manusia dan perbuatannya adalah termasuk dari sekian ciptaan-Nya.

Dalam kehendak dan kekuasaan mutlak Tuhan, tidak berlaku sedikit-banyak, kecil-besar, baik-buruk, manfaat-bahaya, iman-kufur, bertambah-berkurang, menang-kalah, taat-maksiat, atau ingkar-setia, maka apa pun yang dikehendaki-Nya semua atas kehendak-Nya, atas kekuasaan mutlak-Nya pasti akan terjadi, dan apapun yang tidak dikendaki-Nya atas kekuasaan mutlak-Nya pasti tidak akan terjadi.

Berkaitan erat dengan kehendak dan kekuasaan mutlak oleh Allah, maka manusia hanya tercipta atas kehendak dan kekuasaan mutlak-Nya. Manusia hanya berbuat atas kehendak dan kekuasaan mutlak-Nya, tidak bisa lebih atau kurang. Perbuatan manusia itu istilahnya مقدوربين قدرين(kemampuan diantara dua kemampuan). Tuhan menciptakan daya atau gerak pada diri manusia untuk melaku-kan suatu perbuatan hal ini disebut dengan satu kemampuan (قدر) sedangkan kekuasaan yang ada pada diri manusia disebut usaha (كسب) manusia, oleh karena itu perbuatan manusia terwujud atas dua kemampuan, yakni atas daya ciptaan Tuhan dan usaha ciptaan manusia, walaupun sebenarnya usaha (كسب) manusia itu hakikatnya adalah ciptaan Tuhan.

Sebenarnya sebelum alasan-alasan rasional tadi muncul kepermukaan Al-Qur’an telah terlebih dulu menentang faham semacam ini, seperti ayat-ayat berikut:
والله خلقكم وما تعملون (ألصافات: ۹٦)
Artinya:
“Dan Allah yang menjadikan kamu dan apa-apa yang kamu kerjakan” (Al-shaffat: 96)
Secara ekspelisit Al-Qur’an telah memberikan informasi bahwa manusia dan semua yang dikerjakannya diciptakan oleh Allah
أينماتكونوا يدرككم الموت ولوكنتم في بروج مسيدة قلى وإن تصبهم حسنة يقولوا هذا من عندالله وإن تصبهم سيئة يقولوا هذه من عندك قل كل من عندالله فمالهؤلاء القوم لا يكادون يفقهون حديثا (النساء: ٧٨)
Artinya:
“Di mana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, kendatipun kamu di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh, dan jika mereka memperoleh kebaikan mereka mengatakan: "Ini adalah dari sisi Allah", dan kalau mereka ditimpa sesuatu bencana mereka mengatakan: "Ini (datangnya) dari sisi kamu (Muhammad)." Katakanlah: "Semuanya (datang) dari sisi Allah." Maka mengapa orang-orang itu (orang munafik) hampir-hampir tidak memahami pembicaraan sedikitpun?”

Dalam ayat ini pun Terlihat jelas bahwa semuanya, baik dan buruk adalah murni ciptaan Allah, tidak ada sangkut pautnya dengan manusia
ولا ينفعكم نصحي إن أردت أن أنصح لكم إن كان الله يريد أن يغويكم هو ربكم وإليه ترجعون (هود:۳۴)
Artinya:
“Dan tidaklah bermanfaat kepadamu nasehatku jika aku hendak memberi nasehat kepada kamu, sekiranya Allah hendak menyesatkan kamu, Dia adalah Tuhanmu, dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan." (Huud: 34)

Dalam ayat ini dikabarkan dengan jelas bahwa ketika Tuhan menghendaki sesuatu, maka hal itu pasti akan terjadi sekuat apapun usaha yang dilakukan manusia, akan tetapi tetap saja tidak kan mampu merubah ketetapan Allah. Orang yang memberi nasehat kepada orang lain agar supaya ia iman kepada Tuhannya, itu tidak akan berpengaruh pada ketetapan Tuhan bahwa orang itu telah ditentukan untuk menjadi sesat.
ماأصاب من مصيبة في الأرض ولا في أنفسكم إلا في كتاب من قبل أن نبرأها إن ذالك على الله يسير (ألحديد:۲٢)
Artinya:
“Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.” (Al-Hadiid: 22)
Dalam ayat ini secara jelas Allah memberikan informasi bahwa, semua yang terjadi pada diri setiap manusia sudah ditentukan sejak zaman azali. Dan masih banyak lagi ayat serupa yang menjelaskan tentang hal ini.

Jadi dapat disimpulkan bahwa faham yang diusung oleh kelompok Qadariyah ini jelas bertentangan dengan syari’at walaupun mereka berargumen dengan menggunakan dali-dli syari’at pula, benar atau salahnya hanya Allah yang tahu, namun yang perlu diperhatikan adalah ketika faham ini diyakini dan dilakukan oleh manusia, ada manfaat yang bisa diambil dari itu semua, yaitu: terbukanya pengetahuan-pengetahuan baru karena manusia diberi kebebasan berfikir dan berbuat sesuai dengan apa yang ia kehendaki, sedangkan ketika faham jabariyah (faham sebaliknya) yang digunakan, maka tidak adanya semangat untuk lebih maju lagi, karena semua beranggapan, “usaha bagaimanapun tokh Tuhan yang menentukan” jadi manusia akan sulit mengembangkan potensi yang ada pada diri mereka.

Asumsi penulis mungkin tidak benar ketika pendapat kaum Qadariyah ini disalahkan sepenuhnya, karena ketika manusia dipasung dari sifat kebebasan berkreasi dan berkarya yang memang sudah menjadi fitrahnya, maka mana mungkin tugas besar yang diamantkan kepada manusia dapat terlaksana secara sempurna, intinya, semua yang ada dipermukaan bumi ini memang benar Tuhan yang menciptakan akan tetapi manusia diberi kebebasan untuk mengelola apa yang telah diberikan kepadanya, agar ia mampu menjalankan tugas mulya dari Penciptanya, kebebasan itulah yang biasa disebut dengan usaha (kasb)

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pada tahun 70 hijriyah muncul golongan yang banyak menentang kebijakan-kebijakan pemerintah dan doktrin yang berlaku pada waktu itu, kelompok ini menentang pendapat yang menyatakan bahwa segala pekerjaan dan tindak tanduk manusia semuanya bergantung pada takdir, mereka berpendapat bahwa tuhan tidak tahu menahu tentang apa yang dikerjakan oleh makhluknya, semuanya tergantung pada manusia sendiri.

Faham ini pertama kali disebar-luaskan oleh Ma’bad al-Juhani dan Ghailan ad Dimasyqi, keduanya diyakini mendapatkan faham ini dari seorang Kristen yang masuk Islam bernama Susan, namun pendapat ini oleh sebagian ulama’ ditentang karena dianggap hanya sebuah rekayasa dari orang-orang yang keberatan dengan faham ini.
Faham ini jelas sekali mempunyai pijakan berfikir yang jelas, namun demikian tidak sedikit pijakan-pijakan lain yang menentang faham ini, jadi dengan demikian faham ini tidak bisa disalahkan pun tidak bisa dibenarkan, akan tetapi sebenarnya faham ini bisa kolaborasikan dengan pemahaman yang menentang faham ini (Jabariyah) yaitu semuanya memang Tuhan yang menetukan akan tetapi manusia juga memilki andil dalam perbuatannya yaitu usaha.

Kamis, 13 Oktober 2011

Aliran Asy'ariyah


PAHAM ASY’ARIYAH
A. SEJARAH BERDIRI DAN PERKEMBANGAN ASY’ARIYAH
1. Pendiri
Asy`ariyah adalah sebuah paham akidah yang dinisbatkan kepada Abul Hasan Al-Asy`ariy. Nama lengkapnya ialah Abul Hasan Ali bin Isma’il bin Abi Basyar Ishaq bin Salim bin Ismail bin Abdillah bin Musa bin Bilal bin Abi Burdah Amir bin Abi Musa Al-Asy’ari, seorang sahabat Rasulullah saw. Kelompok Asy’ariyah menisbahkan pada namanya sehingga dengan demikian ia menjadi pendiri madzhab Asy’ariyah.
Abul Hasan Al-Asya’ari dilahirkan pada tahun 260 H/874 M di Bashrah dan meninggal dunia di Baghdad pada tahun 324 H/936 M. Ia berguru kepada Abu Ishaq Al-Marwazi, seorang fakih madzhab Syafi’i di Masjid Al-Manshur, Baghdad. Ia belajar ilmu kalam dari Al-Jubba’i, seorang ketua Muktazilah di Bashrah.
Setelah ayahnya meninggal, ibunya menikah lagi dengan Abu Ali Al-Jubba’i, salah seorang pembesar Muktazilah. Hal itu menjadikan otaknya terasah dengan permasalahan kalam sehingga ia menguasai betul berbagai metodenya dan kelak hal itu menjadi senjata baginya untuk membantah kelompok Muktazilah.
Al-Asy’ari yang semula berpaham Muktazilah akhirnya berpindah menjadi Ahli Sunnah. Sebab yang ditunjukkan oleh sebagian sumber lama bahwa Abul Hasan telah mengalami kemelut jiwa dan akal yang berakhir dengan keputusan untuk keluar dari Muktazilah. Sumber lain menyebutkan bahwa sebabnya ialah perdebatan antara dirinya dengan Al-Jubba’i seputar masalah ash-shalah dan ashlah (kemaslahatan).
Sumber lain mengatakan bahwa sebabnya ialah pada bulan Ramadhan ia bermimpi melihat Nabi dan beliau berkata kepadanya, “Wahai Ali, tolonglah madzhab-madzhab yang mengambil riwayat dariku, karena itulah yang benar.” Kejadian ini terjadi beberapa kali, yang pertama pada sepuluh hari pertama bulan Ramadhan, yang kedua pada sepuluh hari yang kedua, dan yang ketika pada sepuluh hari yang ketiga pada bulan Ramadhan. Dalam mengambil keputusan keluar dari Muktazilah, Al-Asy’ari menyendiri selama 15 hari. Lalu, ia keluar menemui manusia mengumumkan taubatnya. Hal itu terjadi pada tahun 300 H.
Setelah itu, Abul Hasan memposisikan dirinya sebagai pembela keyakinan-keyakinan salaf dan menjelaskan sikap-sikap mereka. Pada fase ini, karya-karyanya menunjukkan pada pendirian barunya. Dalam kitab Al-Ibanah, ia menjelaskan bahwa ia berpegang pada madzhab Ahmad bin Hambal.
Abul Hasan menjelaskan bahwa ia menolak pemikirian Muktazilah, Qadariyah, Jahmiyah, Hururiyah, Rafidhah, dan Murjiah. Dalam beragama ia berpegang pada Al-Qur’an, Sunnah Nabi, dan apa yang diriwayatkan dari para shahabat, tabi’in, serta imam ahli hadits.
2. Pemikiran Al-Asy'ari dalam Masalah Akidah
Ada tiga periode dalam hidupnya yang berbeda dan merupakan perkembangan ijtihadnya dalam masalah akidah.
a. Periode Pertama
Beliau hidup di bawah pengaruh Al-Jubbai, syaikh aliran Muktazilah. Bahkan sampai menjadi orang kepercayaannya. Periode ini berlangsung kira-kira selama 40-an tahun. Periode ini membuatnya sangat mengerti seluk-beluk akidah Muktazilah, hingga sampai pada titik kelemahannya dan kelebihannya.
b. Periode Kedua
Beliau berbalik pikiran yang berseberangan paham dengan paham-paham Muktazilah yang selama ini telah mewarnai pemikirannya. Hal ini terjadi setelah beliau merenung dan mengkaji ulang semua pemikiran Muktazilah selama 15 hari. Selama hari-hari itu, beliau juga beristikharah kepada Allah untuk mengevaluasi dan mengkritik balik pemikiran akidah muktazilah.
Di antara pemikirannya pada periode ini adalah beliau menetapkan 7 sifat untuk Allah lewat logika akal, yaitu:
•Al-Hayah (hidup)
•Al-Ilmu (ilmu)
•Al-Iradah (berkehendak)
•Al-Qudrah (berketetapan)
•As-Sama' (mendengar)
•Al-Bashar (melihat)
•Al-Kalam (berbicara)
Sedangkan sifat-sifat Allah yang bersifat khabariyah, seperti Allah punya wajah, tangan, kaki, betis dan seterusnya, maka beliau masih menta'wilkannya. Maksudnya beliau saat itu masih belum mengatakan bahwa Allah punya kesemuanya itu, namun beliau menafsirkannya dengan berbagai penafsiran. Logikanya, mustahil Allah yang Maha Sempurna itu punya tangan, kaki, wajah dan lainnya.
c. Periode Ketiga
Pada periode ini beliau tidak hanya menetapkan 7 sifat Allah, tetapi semua sifat Allah yang bersumber dari nash-nash yang shahih. Kesemuanya diterima dan ditetapkan, tanpa takyif, ta'thil, tabdil, tamtsil dan tahrif.
Beliau para periode ini menerima bahwa Allah itu benar-benar punya wajah, tangan, kaki, betis dan seterusnya. Beliau tidak melakukan:
•takyif: menanyakan bagaimana rupa wajah, tangan dan kaki Allah
•ta'thil: menolak bahwa Allah punya wajah, tangan dan kaki
•tamtsil: menyerupakan wajah, tangan dan kaki Allah dengan sesuatu
•tahrif: menyimpangkan makna wajah, tangan dan kaki Allah dengan makna
lainnya.
Pada periode ini beliau menulis kitabnya "Al-Ibanah 'an Ushulid-Diyanah." Di dalamnya beliau merinci akidah salaf dan manhajnya. Al-Asyari menulis beberapa buku, menurut satu sumber sekitar tiga ratus.
3. Sejarah Berdirinya Asy’ariyah
Pada masa berkembangnya ilmu kalam, kebutuhan untuk menjawab tantangan akidah dengan menggunakan ratio telah menjadi beban. Karena pada waktu itu sedang terjadi penerjemahan besar-besaran pemikiran filsafat Barat yang materialis dan rasionalis ke dunia Islam. Sehingga dunia Islam mendapatkan tantangan hebat untuk bisa menjawab argumen-argumen yang bisa dicerna akal.
Al-Asy‘ari adalah salah satu tokoh penting yang punya peranan dalam menjawab argumen Barat ketika menyerang akidah Islam. Karena itulah metode akidah yang beliau kembangkan merupakan panggabungan antara dalil naqli dan aqli.
Munculnya kelompok Asy’ariyah ini tidak lepas dari ketidakpuasan sekaligus kritik terhadap paham Muktazilah yang berkembang pada saat itu. Kesalahan dasar Muktazilah di mata Al-Asy'ari adalah bahwa mereka begitu mempertahankan hubungan Tuhan—manusia, bahwa kekuasaan dan kehendak Tuhan dikompromikan.
4. Penyebaran Akidah Asy-'ariyah
Akidah ini menyebar luas pada zaman wazir Nizhamul Muluk pada dinasti bani Saljuq dan seolah menjadi akidah resmi negara. Paham Asy’ariyah semakin berkembang lagi pada masa keemasan madrasah An-Nidzamiyah, baik yang ada di Baghdad maupun di kota Naisabur. Madrasah Nizhamiyah yang di Baghdad adalah universitas terbesar di dunia. Didukung oleh para petinggi negeri itu seperti Al-Mahdi bin Tumirat dan Nuruddin Mahmud Zanki serta sultan Shalahuddin Al-Ayyubi.
Juga didukung oleh sejumlah besar ulama, terutama para fuqaha mazhab Asy-Syafi'i dan mazhab Al-Malikiyah periode akhir-akhir. Sehingga wajar sekali bila dikatakan bahwa akidah Asy-'ariyah ini adalah akidah yang paling populer dan tersebar di seluruh dunia.
B. ISTILAH ASY’ARIYAH DAN AHLU SUNNAH WAL JAMAAH
As-Sunnah dalam istilah mempunyai beberapa makna. As-Sunnah menurut para Imam yaitu thariqah (jalan hidup) Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam di mana beliau dan para shahabat berada di atasnya. Mereka adalah orang yang selamat dari syubhat dan syahwat, sebagaimana yang tersirat dalam ucapan Al-Fudhail bin Iyadh, "Ahlus Sunnah itu orang yang mengetahui apa yang masuk ke dalam perutnya dari (makanan) yang halal.” Karena tanpa memakan yang haram termasuk salah satu perkara sunnah yang besar yang pernah dilakukan oleh Nabi dan para shahabat radhiyallahu 'anhum.
Dalam pemahaman kebanyakan ulama muta'akhirin dari kalangan Ahli Hadits dan lainnya, as-sunnah itu ungkapan tentang apa yang selamat dari syubhat-syubhat dalam i'tiqad khususnya dalam masalah-masalah iman kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya, hari Akhir, begitu juga dalam masalah-masalah Qadar dan Fadhailush-Shahabah (keutamaan shahabat).
Para Ulama itu menyusun beberapa kitab dalam masalah ini dan mereka menamakan karya-karya mereka itu sebagai "As-Sunnah". Menamakan masalah ini dengan "As-Sunnah" karena pentingnya masalah ini dan orang yang menyalahi dalam hal ini berada di tepi kehancuran. Adapun Sunnah yang sempurna adalah thariqah yang selamat dari syubhat dan syahwat.
Ahlus Sunnah adalah mereka yang mengikuti sunnah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan sunnah shahabatnya radhiyallahu 'anhum. Al-Imam Ibnul Jauzi menyatakan tidak diragukan bahwa Ahli Naqli dan Atsar pengikut atsar Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan atsar para shahabatnya, mereka itu Ahlus Sunnah.
Kata "Ahlus-Sunnah" mempunyai dua makna. Pertama, mengikuti sunah-sunah dan atsar-atsar yang datangnya dari Rasulullah shallallu 'alaihi wa sallam dan para shahabat radhiyallahu 'anhum, menekuninya, memisahkan yang shahih dari yang cacat dan melaksanakan apa yang diwajibkan dari perkataan dan perbuatan dalam masalah aqidah dan ahkam.
Kedua, lebih khusus dari makna pertama, yaitu yang dijelaskan oleh sebagian ulama di mana mereka menamakan kitab mereka dengan nama As-Sunnah, seperti Abu Ashim, Al-Imam Ahmad bin Hanbal, Al-Imam Abdullah bin Ahmad bin Hanbal, Al-Khalal dan lain-lain. Mereka maksudkan (As-Sunnah) itu i'tiqad shahih yang ditetapkan dengan nash dan ijma'.
Kedua makna itu menjelaskan kepada kita bahwa madzhab Ahlus Sunnah itu kelanjutan dari apa yang pernah dilakukan Rasulullah shallallahu 'alaih wa sallam dan para shahabat radhiyallahu 'anhum. Adapun penamaan Ahlus Sunnah adalah sesudah terjadinya fitnah ketika awal munculnya firqah-firqah.
Ibnu Sirin rahimahullah menyatakan bahwa mereka pada mulanya tidak pernah menanyakan tentang sanad. Ketika terjadi fitnah (para ulama) mengatakan: Tunjukkan (nama-nama) perawimu kepada kami. Kemudian ia melihat kepada Ahlus Sunnah sehingga hadits mereka diambil. Dan melihat kepada Ahlul Bi'dah dan hadits mereka tidak di ambil.
Al-Imam Malik rahimahullah pernah ditanya, "Siapakah Ahlus Sunnah itu? Ia menjawab, “Ahlus Sunnah itu mereka yang tidak mempunyai laqab (julukan) yang sudah terkenal yakni bukan Jahmi, Qadari, dan bukan pula Rafidli.”
Kemudian ketika Jahmiyah mempunyai kekuasaan dan negara, mereka menjadi sumber bencana bagi manusia, mereka mengajak untuk masuk ke aliran Jahmiyah dengan anjuran dan paksaan. Mereka menggangu, menyiksa dan bahkan membunuh orang yang tidak sependapat dengan mereka. Kemudian Allah Subhanahu wa Ta'ala menciptakan Al-Imam Ahmad bin Hanbal untuk membela Ahlus Sunnah. Di mana beliau bersabar atas ujian dan bencana yang ditimpakan mereka.
Beliau membantah dan patahkan hujjah-hujjah mereka, kemudian beliau umumkan serta munculkan As-Sunnah dan beliau menghadang di hadapan Ahlul Bid'ah dan Ahlul Kalam. Sehingga, beliau diberi gelar Imam Ahlus Sunnah.
Dari keterangan di atas dapat kita simpulkan bahwa istilah Ahlus Sunnah terkenal di kalangan Ulama Mutaqaddimin (terdahulu) dengan istilah yang berlawanan dengan istilah Ahlul Ahwa' wal Bida' dari kelompok Rafidlah, Jahmiyah, Khawarij, Murji'ah dan lain-lain. Sedangkan Ahlus Sunnah tetap berpegang pada ushul (pokok) yang pernah diajarkan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan shahabat radhiyallahu 'anhum.
Dengan demikian, ahlus sunnah wal jamaah adalah istilah yang digunakan untuk menamakan pengikut madzhab As-Salafus Shalih dalam i'tiqad. Banyak hadits yang memerintahkan untuk berjamaah dan melarang berfirqah-firqah dan keluar dari jamaah. Namun, para ulama berselisih tentang perintah berjamaah ini dalam beberapa pendapat:
1. Jamaah itu adalah As-Sawadul A'dzam (sekelompok manusia atau kelompok terbesar)
dari pemeluk Islam.
2. Para Imam Mujtahid
3. Para Shahabat Nabi radhiyallahu 'anhum.
4. Jamaahnya kaum muslimin jika bersepakat atas sesuatu perkara.
5. Jamaah kaum muslimin jika mengangkat seorang amir.
Pendapat-pendapat di atas kembali kepada dua makna. Pertama,
bahwa jamaah adalah mereka yang bersepakat mengangkat seseorang amir (pemimpin) menurut tuntunan syara', maka wajib melazimi jamaah ini dan haram menentang jamaah ini dan amirnya.
Kedua, bahwa jamaah yang Ahlus Sunnah melakukan i'tiba' dan meninggalkan ibtida' (bid'ah) adalah madzhab yang haq yang wajib diikuti dan dijalani menurut manhajnya. Ini adalah makna penafsiran jamaah dengan Shahabat Ahlul Ilmi wal Hadits, Ijma' atau As-Sawadul A'dzam.
Syaikhul Islam mengatakan, "Mereka (para ulama) menamakan Ahlul Jamaah karena jamaah itu adalah ijtima' (berkumpul) dan lawannya firqah. Meskipun lafadz jamaah telah menjadi satu nama untuk orang-orang yang berkelompok. Sedangkan ijma' merupakan pokok ketiga yang menjadi sandaran ilmu dan dien. Dan mereka (para ulama) mengukur semua perkataan dan pebuatan manusia zhahir maupun bathin yang ada hubungannya dengan din dengan ketiga pokok ini (Al-Qur'an, Sunnah dan Ijma').
Istilah Ahlus Sunnah wal Jamaah mempunyai istilah yang sama dengan Ahlus Sunnah. Dan secara umum para ulama menggunakan istilah ini sebagai pembanding Ahlul Ahwa' wal Bida'. Contohnya : Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhum mengatakan tentang tafsir firman Allah Ta'ala, ”Pada hari yang di waktu itu ada muka yang putih berseri dan adapula muka yang muram.” [Ali Imran: 105].
"Adapun orang-orang yang mukanya putih berseri adalah Ahlus Sunnah wal Jamaah sedangkan orang-orang yang mukanya hitam muram adalah Ahlul Ahwa' wa Dhalalah.”
Sufyan Ats-Tsauri menyatakan bahwa jika sampai (khabar) kepadamu tentang seseorang di arah timur ada pendukung sunnah dan yang lainnya di arah barat maka kirimkanlah salam kepadanya dan doakanlah mereka. Alangkah sedikitnya Ahlus Sunnah wal Jamaah.
Jadi kita dapat menyimpulkan bahwa Ahlus Sunnah wal Jamaah adalah firqah yang berada di antara firqah-firqah yang ada, seperti juga kaum muslimin berada di tengah-tengah milah-milah lain. Penisbatan kepadanya, penamaan dengannya dan penggunaan nama ini menunjukkan atas luasnya i'tiqad dan manhaj.
Nama Ahlus Sunnah merupakan perkara yang baik dan boleh serta telah digunakan oleh para ulama salaf. Di antara yang paling banyak menggunakan istilah ini ialah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah.
Istilah ahlu sunnah dan jamaah ini timbul sebagai reaksi terhadap paham-paham gilongan Muktazilah, yang telah dikembangkan dari tahun 100 H atau 718 M. Dengan perlahan-lahan paham Muktazilah tersebut memberi pengaruh kuat dalam masyarakat Islam. Pengaruh ini mencapai puncaknya pada zaman khalifah-khalifah Bani Abbas, yaitu Al-Makmun, Al-Muktasim, dan Al-Wasiq (813 M-847 M). Pada masa Al-Makmun, yakni tahun 827 M bahkan aliran Muktazilah diakui sebagai mazhab resmi yang dianut negara.
Ajaran yang ditonjolkan ialah paham bahwa Al-Qur’an tidak bersifat qadim, tetapi baru dan diciptakan. Menurut mereka yang qadim hanyalah Allah. Kalau ada lebih dari satu zat yang qadim, berarti kita telah menyekutukan Allah. Menurut mereka Al-Qur’an adalah makhluk yang diciptakan Allah. Sebagai konsekuensi sikap khalifah terhadap mazhab ini, semua calon pegawai dan hakim harus menjalani tes keserasian dan kesetiaan pada ajaran mazhab.
Mazhab ahlu sunnah wal jaamaah muncul atas keberanian dan usaha Abul Hasan Al-Asy’ari. Ajaran teologi barunya kemudian dikenal dengan nama Sunah wal Jamaah. Untuk selanjutnya Ahli Sunah wal jamaah selalu dikaitkan pada kelompok pahan teologi Asy’ariyah ataupun Maturidiyah.
Asy'ariyah banyak menggunakan istilah Ahlus Sunnah wal Jamaah ini. Kebanyakan di kalangan mereka mengatakan bahwa madzhab salaf "Ahlus Sunnah wa Jamaah" adalah apa yang dikatakan oleh Abul Hasan Al-Asy'ari dan Abu Manshur Al-Maturidi. Sebagian dari mereka mengatakan Ahlus Sunnah wal Jamaah itu Asy'ariyah, Maturidiyah,dan Madzhab Salaf.
Sebenarnya, antara Asy’ariyah dan Maturidiyah sendiri memiliki beberapa perbedaan, di antaranya ialah dalam hal-hal sebagai berikut:
1. Tentang sifat Tuhan
Pemikiran Asy`ariyah dan Maturidiyah memiliki pemahaman yang relatif sama. Bahwa Tuhan itu memiliki sifat-sifat tertentu. Tuhan Mengetahui dengan sifat Ilmu-Nya, bukan dengan zat-Nya. Begitu juga Tuhan itu berkuasa dengan sifat Qudrah-Nya, bukan dengan zat-Nya.
2. Tentang Perbuatan Manusia
Pandangan Asy`ariyah berbeda dengan pandangan Maturidiyah. Menurut Maturidiyah, perbuatan manusia itu semata-mata diwujudkan oleh manusia itu sendiri. Dalam masalah ini, Maturidiyah lebih dekat dengan Mu`tazilah yang secara tegas mengatakan bahwa semua yang dikerjakan manusia itu semata-mata diwujdukan oleh manusia itu sendiri.

3. Tentang Al-Quran
Pandangan Asy`ariyah sama dengan pandangan Maturidiyah. Keduanya sama-sama mengatakan bahwa Al-quran itu adalah Kalam Allah Yang Qadim. Mereka berselisih paham dengan Mu`tazilah yang berpendapat bahwa Al-Quran itu makhluq.
4. Tentang Kewajiban Tuhan
Pandangan Asy`ariyah berbeda dengan pandangan Maturidiyah. Maturidiyah berpendapat bahwa Tuhan memiliki kewajiban-kewajiban tertentu. Pendapat Maturidiyah ini sejalan dengan pendapat Mu`tazilah.
5. Tentang Pelaku Dosa Besar
Pandangan Asy`ariyah dan pandangan Maturidiyah sama-sama mengatakan bahwa seorang mukmin yang melakukan dosa besar tidak menjadi kafir dan tidak gugur ke-Islamannya. Sedangkan Mu`tazilah mengatakan bahwa orang itu berada pada tempat diantara dua tempat “Manzilatun baina manzilatain”.
6. Tentang Janji Tuhan
Keduanya sepakat bahwa Tuhan akan melaksanakan janji-Nya. Seperti memberikan pahala kepada yang berbuat baik dan memberi siksa kepada yang berbuat jahat.
7. Tentang Rupa Tuhan
Keduanya sama-sama sependapat bahwa ayat-ayat Al-Quran yang mengandung informasi tentang bentuk-bentuk pisik jasmani Tuhan harus ditakwil dan diberi arti majaz dan tidak diartikan secara harfiyah.
Az-Zubaidi menyatakan bahwa jika dikatakan Ahlus Sunnah, maka yang dimaksud dengan mereka itu adalah Asy'ariyah dan Maturidiyah.
Penulis Ar-Raudhatul Bahiyyah mengemukakan bahwa pokok semua aqaid Ahlus Sunnah wal Jamaah atas dasar ucapan dua kutub, yakni Abul Hasan Al-Asy'ari dan Imam Abu Manshur Al-Maturidi.
Al-Ayji menuturkan bahwa Al-Firqatun Najiyah yang terpilih adalah orang-orang yang Rasulullah berkata tentang mereka, "Mereka itu adalah orang-orang yang berada di atas apa yang aku dan para shahabatku berada diatasnya." Mereka itu adalah Asy'ariyah dan Salaf dari kalangan Ahli Hadits dan Ahlus Sunnah wal Jamaah.
Hasan Ayyub menuturkan bahwa ahlus sunnah adalah Abu Hasan Al-Asy'ari dan Abu Mansyur Al-Maturidi dan orang-orang yang mengikuti jalan mereka berdua. Mereka berjalan di atas petunjuk Salafus Shalih dalam memahami aqaid.
Uraian di atas menjelaskan bahwa Asy’ariyah adalah ahlus sunnah wal jamaah itu sendiri. Pengakuan tersebut disanggah oleh Ibrahim Said dalam majalah Al-Bayan bahwa:
  1. Bahwa pemakaian istilah ini oleh pengikut Asy'ariyah dan Maturidiyah dan orang-orang yang terpengaruh oleh mereka sedikit pun tidak dapat merubah hakikat kebid'ahan dan kesesatan mereka dari Manhaj Salafus Shalih dalam banyak sebab.
  1. Bahwa penggunaan mereka terhadap istilah ini tidak menghalangi kita untuk menggunakan dan menamakan diri dengan istilah ini menurut syar'i dan yang digunakan oleh para ulama Salaf. Tidak ada aib dan cercaan bagi yang menggunakan istilah ini. Sedangkan yang diaibkan adalah jika bertentangan dengan i'tiqad dan madzhab Salafus Shalih dalam pokok (ushul) apa pun.
Sayangnya, Ibrahim Said dalam makalahnya tidak menjelaskan kebatilan paham Asy’ariyah yang didakwakannya. Dalam buku Nasy’atul Asy’ariyyah wa Tathawwuruha, disebutkan bahwa istilah ahlus sunah wal jamaah memiliki dua makna, yaitu umum dan khusus. Makna secara umum dimaksudkan sebagai lawan dari Syi’ah yang di dalamnya juga masuk golongan Muktazilah dan Asya’irah. Makna khusus digunakan untuk menyebut Asya’riyah tanpa selainnya dari aliran-liran kalam dalam pemikiran filsafat Islam.
Jadi, makna ahlus sunnah secara umum dimaksudkan sebagai lawan dari kelompok Syi’ah, Muktazilah, dan bahkan Asy’ariyah itu sendiri. Adapun makna khususnya digunakan untuk menyebut Asy’ariyah untuk membedakannya dengan aliran-aliran kalam dalam pemikiran filsafat Islam.
C. PANDANGAN-PANDANGAN ASY’ARIYAH
Adapun pandangan-pandangan Asy’ariyah yang berbeda dengan Muktazilah, di antaranya ialah:
1. Bahwa Tuhan mempunyai sifat. Mustahil kalau Tuhan mempunyai sifat, seperti yang
melihat, yang mendengar, dan sebagainya, namun tidak dengan cara seperti yang ada
pada makhluk. Artinya harus ditakwilkan lain.
2. Al-Qur’an itu qadim, dan bukan ciptaan Allah, yang dahulunya tidak ada.
3. Tuhan dapat dilihat kelak di akhirat, tidak berarti bahwa Allah itu adanya karena
diciptakan.
4. Perbuatan-perbuatan manusia bukan aktualisasi diri manusia, melainkan diciptakan
oleh Tuhan.
5. Keadilan Tuhan terletak pada keyakinan bahwa Tuhan berkuasa mutlak dan
berkehendak mutlak. Apa pun yang dilakukan Allah adalah adil. Mereka menentang
konsep janji dan ancaman (al-wa’d wa al-wa’id).
6. Mengenai anthropomorfisme, yaitu memiliki atau melakukan sesuatu seperti yang
dilakukan makhluk, jangan dibayangkan bagaimananya, melainkan tidak seperti apa
pun.
7. Menolak konsep tentang posisi tengah (manzilah bainal manzilataini), sebaba tidak
mungkin pada diri seseorang tidak ada iman dan sekaligus tidak ada kafir. Harus
dibedakan antara iman, kafir, dan perbuatan.
Berkenaan dengan lima dasar pemikiran Muktazilah, yaitu keadilan, tauhid, melaksanakan ancaman, antara dua kedudukan, dan amar maksruf nahi mungkar, hal itu dapat dibantah sebagai berikut.
Arti keadilan, dijadikan kedok oleh Muktazilah untuk menafikan takdir. Mereka berkata, “Allah tak mungkin menciptakan kebururkan atau memutuskannya. Karena kalau Allah menciptakan mereka lalu menyiksanya, itu satu kezaliman. Sedangkan Allah Maha-adil, tak akan berbuat zalim.
Adapun tauhid, mereka jadikan kedok untuk menyatakan pendapat bahwa Al-Qur’an itu makhluk. Karena kalau ia bukan makhluk, berarti ada beberapa sesuatu yang tidak berawal. Konsekuensi pondasi berpikir mereka yang rusak ini bahwa ilmu Allah, kekuasaan-Nya, dan seluruh sifat-Nya adalah makhluk. Sebab kalau tidak akan terjadi kontradiksi.
Ancaman menurut Muktazilah, kalau Allah sudah memberi ancaman kepada sebagian hamba-Nya, Dia pasti menyiksanya dan tak mungkin mengingkari janji-Nya. Karena Allah selalu memenuhi janji-Nya. Jadi, menurut mereka, Allah tak akan memafkan dan memberi ampun siapa saja yang Dia kehendaki.
Adapun yang mereka maksud dengan di antara dua kedudukan bahwa orang yang melakukan dosa besar tidak keluar dari keimanan, tapi tidak terjerumus pada kekufuran. Sedangkan konsep amar makruf nahi mungkar menurut Muktazilah ialah wajib menyuruh orang lain dengan apa yang diperintahkan kepada mereka. Termasuk kandungannya ialah boleh memberontak kepada para pemimpin dengan memeranginya apabila mereka berlaku zalim.
Koreksi atas pandangan Asy’ari
Beberapa tokoh pengikut dan penerus Asy’ari, banyak yang mengkritik paham Asy’ari. Di antaranya ialah sebagai berikut:
Muhammad Abu Baki al- Baqillani (w. 1013 M), tidak begitu saja menerima ajaran-ajaran Asy’ari. Misalnya tentang sifat Allah dan perbuatan manusia. Menurut al-Baqillani yang tepat bukan sifat Allah, melainkan hal Allah, sesuai dengan pendapat Abu Hasyim dari Muktazilah. Selanjutnya ia beranggapan bahwa perbuatan manusia bukan semata-mata ciptaan Allah, seperti pendapat Asy’ari. Menurutnya, manusia mempunyai andil yang efektif dalam perwujudan perbuatannya, sementara Allah hanya memberikan potensi dalam diri manusia.
Pengikut Asy’ari lain yang juga menunjukkan penyimpangan adalah Abdul Malik al-Juwaini yang dijuluki Imam al-Haramain (419-478 H). Misalnya tentang anthropomorfisme al-Juwaini beranggapan bahwa yang disebut tangan Allah harus diartikan (ditakwilkan) sebagai kekuasaan Allah. Mata Allah harus dipahami sebagai penglihatan Allah, wajah Allah harus diartikan sebagai wujud Allah, dan seterusnya. Jadi bukan sekadar bila kaifa atau tidak seperti apa pus, sepertidikatakan Asy’ari.
Pengikut Asy’ari yang terpenting dan terbesar pengaruhnya pada umat Islam yang beraliran Ahli sunnah wal jamaah ialah Imam Al-Ghazali. Tampaknya paham teologi cenderung kembali pada paham-paham Asy’ari. Al-Ghazali meyakini bahwa:
1. Tuhan mempunyai sifat-sifat qadim yang tidak identik dengan zat Tuhan dan
mempunyai wujud di luar zat.
2. Al-Qur’an bersifat qadim dan tidak diciptakan.
3. Mengenai perbuatan manusia, Tuhanlah yang menciptakan daya dan perbuatan
4. Tuhan dapat dilihat karena tiap-tiap yang mempunyai wujud pasti dapat dilihat.
5. Tuhan tidak berkewajiban menjaga kemaslahatan (ash-shalah wal ashlah) manusia,
tidak wajib memberi ganjaran pada manusia, dan bahkan Tuhan boleh memberi beban
yang tak dapat dipikul kepada manusia.
Berkat Al-Ghazali paham Asy’ari dengan sunah wal jamaahnya berhasil berkembang ke mana pun, meski pada masa itu aliran Muktazilah amat kuat di bawah dukungan para khalifah Abasiyah. Sementara itu paham Muktazilah mengalami pasang surut selama masa Daulat Bagdad, tergantung dari kecenderungan paham para khalifah yang berkuasa. Para Ulama yang Berpaham Asy-'ariyah
Di antara para ulama besar dunia yang berpaham akidah ini dan sekaligus juga menjadi tokohnya antara lain:
1.     Al Baqilani (wafat 403 H)
2.     Ibnu Faruak (wafat 406 H)
3.     Ibnu Ishak al Isfarani (wafat 418 H)
4.     Abdul Kahir al Bagdadi (wafat 429 H)
5.     Imam al Haramain al Juwaini (wafat 478 H)
6.     Abdul Mudzaffar al Isfaraini (wafat 478 H)
7.     Al Ghazali (wafat 505 H)
8.     Ibnu Tumart (wafat 524 H)
9.     As Syihristani (wafat 548)
10.  Ar Razi (1149-1209 M)
11.  Al Iji (wafat 756 H)
12.  Al Sanusi (wafat 895)
Mereka yang berakidah ini sebagaimana yang dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah adalah paling dekat di antara yang lain kepada ahlus sunnah wal jamaah. Aliran mereka adalah polarisasi antara wahyu dan filsafat.