Kamis, 03 November 2011

Aliran Maturidiyah


ALIRAN MATURIDIYAH

PENDAHULUAN
Abu Muhammad Ibn Muhammad Ibn Mahmud al-Maturidi lahir di Samarkand pada pertengahan ke dua dari abad ke sembilan Masehi dan meninggal di tahun 944 Masehi. Ia adalah pengikut Abu Hanifah dan faham-faham teologinya banyak persamaannya dengan faham-faham yang dimajukan Abu Hanifah. Sistem pemikiran teologi yang ditimbulkan Abu Mansur termasuk dalam golongan teologi Ahli Sunnah dan dikenal dengan nama al-Maturidiyah.1
Literatur mengenai ajaran-ajaran Abu Mansur dan aliran Maturidiyah tidak sebanyak literatur mengenai ajaran-ajaran Asy’ariyah. Buku-buku yang banyak membahas soal sekte-sekte sperti buku-buku al-Syahrastani, Ibnu Hazm, al Bagdadi dan lain-lain tidak memuat keterangan-keterangan tentang al-Maturidi atau pengikut-pengikutnya. Karangan-karangan al-maturidi sendiri masih belum dan tetap dalam bentuk Mahtutat.
Diantara Mahtutat itu adalah Kitab al Tauhid dan Kitab Ta’wil al-Qur’an. Seterusnya ada pula yang karangan-karangan yang dikatakan disusun oleh al-maturidi yaitu Risalah fi al-’Aqa’id dan Syarh al-Fiqh al-Akbar. Keterangan-keterangan mengenai pendapat-pendapat al Maturidi dapat diperoleh lebih lanjut dari buku-buku yang dikarang oleh pengikut-pengikutnya seperti Isyarat al-Maram oleh al-Bayadi dan Usul al-Din oleh al-Bazdawi.
1.      Pengertian Aliran Maturidiyah
Berdasarkan buku Pengantar Teologi Islam, aliran Maturidiyah diambil dari nama pendirinya, yaitu Abu Mansur Muhammad bin Muhammad. Di samping itu, dalam buku terjemahan oleh Abd. Rahman Dahlan dan Ahmad Qarib menjelaskan bahwa pendiri aliran maturidiyah yakni Abu Manshur al-Maturidi, kemudian namanya dijadikan sebagai nama aliran ini.
Selain itu, definisi dari aliran Maturidiyah adalah aliran kalam yang dinisbatkan kepada Abu Mansur al-Maturidi yang berpijak kepada penggunaan argumentasi dan dalil aqli kalami. Sejalan dengan itu juga, aliran Maturidiyah merupakan aliran teologi dalam Islam yang didirikan oleh Abu Mansur Muhammad al-Maturidiyah dalam kelompok Ahli Sunnah Wal Jamaah yang merupakan ajaran teknologi yang bercorak rasional.
Jika dilihat dari metode berpikir dari aliran Maturidiyah, aliran ini merupakan aliran yang memberikan otoritas yang besar kepada akal manusia, tanpa berlebih-lebihan atau melampaui batas, maksudnya aliran Maturidiyah berpegang pada keputusan akal pikiran dalam hal-hal yang tidak bertentangan dengan syara’. Sebaliknya jika hal itu bertentangan dengan syara’, maka akal harus tunduk kepada keputusan syara’.
Berdasarkan prinsip pendiri aliran Maturidiyah mengenai penafsiran Al-Qur’an yaitu kewajiban melakukan penalaran akal disertai bantuan nash dalam penafsiran Al-Qur’an. Dalam menfsirkan Al-Qur’an al-Maturidi membawa ayat-ayat yang mutasyabih (samar maknanya) pada makna yang muhkam (terang dan jelas pengertiannya). Ia menta’wilkan yang muhtasyabih berdasarkan pengertian yang ditunjukkan oleh yang muhkam. Jika seorang mikmin tidak mempunyai kemampuan untuk menta’wilkannya, maka bersikap menyerah adalah lebih selamat.
Jadi dalam pena’wilan Al-Qur’an, al-Maturudi sangat berhati-hati walaupun beliau menjadikan akal suatu kewajiban dalam penafsiran suatu ayat. Penulis setuju dengan sikap al-Maturudi dalam menafsirkan ayat yang mutasyabih, yakni dengan mencari pentunjuk dari ayat yang muhkam dan dikombinasikan dengan penalaran akal pikiran yang apabila seseorang tidak bisa mena’wilkan ayat tersebut, maka orang itu dianjurkan untuk tidak mena’wilkannya.
Maka dari bererapa pengertian di atas, kami bisa memberikan simpulan bahwa aliran Maturidiyah merupakan aliran yang namanya diambil dari nama pendirinya yakni al-Maturudi. Aliran ini menggunakan akal dalam analogi pemikiran atau penafsiran ayat, namun hal itu bukan menjadi hal yang mutlak karena apabila terdapat keputusan akal yang bertentangan dengan syara’, maka itu ditolak.
2.      Sejarah Aliran Maturidiyah
Dalam buku Teologi Islam, Aliran-aliran Sejarah Analisa perbandingan (Harun Nasution, 76) menyebutkan bahwa Abu Manshur Muhammad Ibn Muhammad Ibn Mahmud al-Maturudi lahir di Samarkand pada pertengahan ke dua dari abad ke sembilan Masehi dan meninggal di tahun 944 M. Tidak banyak diketahui mengenai riwayat hidupnya. Ia adalah pengikut Abu Hanifah dan paham-paham teologinya banyak persamaannya dengan paham-paham yang dimajukan Abu Hanifah. Sistem pemikiran teologi yang ditimbulkan Abu Mansur termasuk dalam golongan teologi ahli sunnah dan dikenal dengan al-Maturidiah.
Abu Mansur al-Maturidi mencari ilmu pada pertiga terakhir dari abad ke tiga Hijrah, di mana aliran Mu’tazilah sudah mengalami kemundurannya, dan di antara gurunya adalah Nasr bin Yahya al-Balakhi (wafat 268 H). Negeri Samarkand pada saat itu merupakan tempat diskusi dalam ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh. Diskusi di bidang Fiqh berlangsung antara pendukung mazhab Hanafi dan pendukung mazhab Syafi’i.
Selain itu, aliran Maturidiyah merupakan salah satu dari sekte Ahl al-Sunnah wal al-Jama’ah yang tampil bersama dengan Asy’ariah. Kedua aliran ini datang untuk memenuhi kebutuhan mendesak yang menyerukan untuk menyelamatkan diri dari ekstrimitas kaum rasionalis di mana yang berada di barisan paling depan adalah Mu’tazilah, maupun ekstrimitas kaum tekstualis di mana yang berada di barisan paling depan adalah kaum Hanabillah (para pengikut Imam Ibnu Hambal). Pada awalnya antara kedua aliran ini (Maturidiyah dan Asy’ariyah) dipisahkan oleh jarak: aliran Asy’ariyah di Irak dan Syam (Suriah) kemudian meluas ke Mesir, sedangkan aliran Maturidiyah di Samarkand dan di daerah-daerah di seberang sungai (Oxus-pen). Kedua aliran ini bisa hidup dalam lingkungan yang kompleks dan membentuk satu mazhab. Nampak jelas bahwa perbedaan sudut pandang mengenai masalah-masalah Fiqh kedua aliran ini merupakan faktor pendorong untuk berlomba dan survive. Orang-orang Hanafiah (para pengikut Imam Hanafi) membentengi aliran Maturidiyah, dan para pengikut Imam al-Syafi’I dan Imam al-Malik mendukung kaum Asy’ariyah.
Memang aliran Asy’ariyah lebih dulu menentang paham-paham dari aliran Mu’tazilah. Seperti yang kita ketahui, al-Maturidi lahir dan hidup di tengah-tengah iklim keagamaan yang penuh dengan pertentangan pendapat antara Mu’tazilah (aliran teologi yang amat mementingkan akal dan dalam memahami ajaran agama) dan Asy’ariyah (aliran yang menerima rasional dan dalil wahyu) sekitar masalah kemampuan akal manusia. Maka dari itu, Al-Maturidi melibatkan diri dalam pertentangan itu dengan mengajukan pemikiran sendiri. Pemikirannya itu merupakan jalan tengah antara aliran Mu’tazilah dan Asy’ariyah. Kerana itu juga, aliran Maturiyah sering disebut “berada antara teologi Mu’tazilah dan Asy’ariyah”.
Salah satu pengikut penting dari al-Maturidi adalah Abu al-Yusr Muhammad al-Bazdawi (421-493 H). Nenek al-Bazdawi adalah murid dari al-Maturidi, dan al-Bazdawi mengetahui ajaran-ajaran al-Maturidi dari orang tuanya. Al-bazdawi sendiri mempunyai murid-murid dan salah seorang dari mereka ialah Najm al-Din Muhammad al-Nasafi (460-537 H).
Walaupun konsep pemikiran al-Bazdawi bersumber dari pemikiran al-Maturudi, tapi terdapat pemikiran-pemikiran al-Bazdawi yang tidak sefaham dengan al-Maturudi. Antara ke dua pemuka aliran Maturidiyah ini, terdapat perbedaan faham sehingga boleh dikatakan bahwa dalam aliran Maturidiyah terdapat dua golongan: golongan Samarkand yaitu pengikut-pengikut al-Maturidi sendiri, dan golongan Bukhara yaitu pengikut-pengikut al-Bazdawi.
 Dari paparan mengenai sejarah di atas, di sini para penulis beropini bahwa aliran Maturidiyah merupakan aliran dari sekte Ahl al-Sunnah wal al-Jama’ah yang pada mulanya aliran ini berakar dari pemikiran Abu Mansur al-Maturidi. Beranjak dari pemikiran-pemikiran al-Maturidi ini lah aliran ini berkembang. Sehingga pengikut aliran ini disebut aliran Maturudiyah yang diambil dari nama pendirinya sendiri.
Pada mulanya, aliran ini masih teguh pada satu kiblat yakni pemikiran-pemikiran dari pendirinya (al-Maturidi). Namun jauh setelah al-Maturidi meninggal, yakni cucu dari salah seorang murid al-Maturidi, al-Bazdawi memberikan pemahaman yang bertentangan dengan pemikiran-pemikiran al-Maturidi. Sehingga banyak hal-hal yang berbeda dalam konsep ajaran yang diberikan oleh pendirinya dengan pemikiran al-Bazdawi itu sendiri. Maka dengan adanya perbedaan-perbedaan tersebut, aliran Maturidiyah terpecah menjadi dua golongan besar yaitu pengikut setia al-Maturidi yang akhirnya disebut Maturidiyah Samarkand dan pengikut al-Bazdawi yang disebut dengan Maturidiyah Bukhara.
3.      Ajaran Aliran Maturidiyah
Sebelum kita memahami konsep ajaran dari aliran Maturidiyah sebelum terpecah menjadi dua golongan, kita harus tahu konsep pemikiran al-Maturudi terlebih dahulu yakni kewajiban ma’rifah terhadap Allah Swt. mungkin di temukan berdasarkan penalaran akal, sebagaimana Allah Swt. telah memerintahkan untuk melakukan penalaran dalam sejumlah ayat Al-Qur’an. Allah Swt. memerintahkan kepada manusia untuk berpikir mengenai kerajaan langit dan bumi dan memberikan pengarahan kepada manusia bahwa sekira akal pikiran diarahkan secara konsisten, terlepas dari hawa nafsu dan taklid. Sesuai dengan firman Allah Swt. Yang artinya berikut:
Artinya:
Dan Dia telah menundukkan untukmu apa yang di langit dan apa yang di bumi semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berfikir.” (QS. Al-Jaatsiyah, 45: 13)
Maka dari itu, al-Maturudi memberikan kontribusi pemikirannya kurang lebih tiga ajaran yakni:
  1. Mengenai sifat-sifat Allah Swt.
Mengenai sifat-sifat Allah Swt., aliran Asy’ariyah mengatakan sifat-sifat Allah Swt. itu merupakan sesuatu yang berada di luar Dzat. Mereka juga menetapkan adanya qudrah, iradah,’ ilm, bayah, sama’, basher dan kalam pada Dzat Allah Swt. Kata mereka, semua itu merupakan sesuatu di luar Dzat-Nya. Mu’tazilah mengatakan bahwa tidak ada sesuatu di luar Dzat-Nya. Adapun yang disebutkan dalam Al-Qur’an, seperti:’Alim(Maha mengetahui), Khabir(Maha mengenal), Hakim(Maha bijaksana), Bashir(Maha melihat), merupakan nama-nama bagi Dzat Allah Swt. Kemudian al-Maturidi menetapkan sifat-sifat itu bagi Allah Swt., tetapi ia mengatakan bahwa sifat-sifat itu bukanlah sesuatu di luar Dzat-Nya, bukan pula sifat-sifat yang berdiri pada Dzat-Nya dan tidak pula terpisah dari Dzat-Nya.
Al-Maturidi juga menerima segala sesuatu yang disifatkan Allah Swt. kepada diri-Nya sendiri, baik berupa sifat maupun keadaan. Sekalipun demikian, ia menetapkan bahwa Allah Maha Suci dari antropomorfisme (menyerupai bentuk manusia) dan dari mengambil ruang dan waktu. Terhadap ayat-ayat yang mengandung makna sifat-sifat, seperti pernyataan bahwa Allah Swt. mempunyai wajah, tangan, mata dan lainnya, maka al-Maturidi berdiri pada posisi penta’wil dan berjalan di atas prinsipnya, yaitu membawa ayat-ayat yang mutasyabih kepada yang muhkam. Misalnya, ia menginterpretasikan firman Allah Swt.:
Artinya: “Lalu Dia bersemayam di atas ‘Arsy….”(QS. Al-A’raf, 7:54)
Ia menafsirkan dengan makna alternatif, yaitu bahwa Allah Swt. menuju ‘Arsy dan menciptakannya dalam keadaan rata, lurus dan teratur.
Menurut pendapat kami al-Maturidi dalam memahami sifat-siafat Allah Swt. hampir sependapat dengan aliran Mu’tazilah, yang mengatakan bahwa antara Dzat dan sifat-sifat Allah itu tidak terpisah. Sehingga dalam hal ini, jelas al-Maturidi lebih dekat dengan aliran Mu’tazilah.
2.      Melihat Allah Swt.
Ada beberapa nash Al-Qur’an yang menegaskan bahwa Allah Swt. dapat dilihat, seperti firtman Allah:
Artinya: “ Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhannyalah mereka melihat.” (QS. Al-Qiyamah, 75: 22-23)
Berdasarkan firman tersebut, al-Maturidi menetapkan bahwa Allah dapat dilihat pada hari kiamat. Ini dikarenakan pada hari kiamat itu merupakan salah satu keadaan khusus. Maka dari itu para penulis juga setuju dengan pendapat al-Maturidi di atas, apalagi diperkuat dengan firman Allah Swt. Surah Al-Qiyamah: 22-23, karena menurut pendapat kami pada hari kiamat manusia akan berjumpa atau melihat Allah Swt. (bagi orang-orang yang beriman). Namun dalam hal sifat dan bagaimana bentuk Allah Swt., hanya Dialah yang mengetahui, sebagaimana kita tidak mengetahui kapan terjadinya hari kiamat.
3.      Pelaku dosa besar
Al-Maturidi mengatakan bahwa orang mu’min yang berdosa adalah menyerahkan persoalan mereka kepada Allah Swt. Jika Allah Swt. menghendaki maka Dia mengampuni mereka sebagai karunia, kebaikkan dan rahmat-Nya. Sebaliknya, jika Allah Swt. menghendaki, maka Dia menyiksa mereka sesuai dengan kadar dosa mereka. Dengan demikian, orang mu’min berada di antara harapan dan kecemasan. Allah boleh saja menghukum dosa kecil dan mengampuni dosa besar, sebagaimana Dia telah berfirman:

Artinya: “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, Maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.” (QS. An-Nisa’, 4: 48)
Setelah Maturidiyah terpecah menjadi dua bagian, yakni aliran Samarkand dan Bukhara, ajaran aliran maturidiyah mengalami perbedaan dan ada juga yang sama di antara ke dua aliran ini, yakni sebagai-berikut:
4.      Mengenai pelaku dosa besar
Aliran Maturidiyah, baik Samarkand maupun Bukhara, sepakat menyatakan bahwa pelaku dosa besar masih tetap sebagai mukmin karena adanya keimana dalam dirinya. Adapun balasan yang diperolehnya kelak diakherat bergantung apa yang dilakukannya di dunia. Jika ia meninggal tanpa taubat terlebih dahulu, keputusannya diserahkan sepenuhnya kepada kehendak Allah SWT. Jika menghendaki pelaku dosa besar itu diampuni, ia akan memasukkannya keneraka, tetapi tidak kekal didalamnya.
Hal ini karena Tuhan telah menjanjikan akan memberikan balasan kepada manusia sesuai dengan perbuatannya. Kekal di dalam neraka adalah balasan untuk orang musyrik. Ini sesuai dengan firman Allah Swt. dalam Al-Qur’an Surrah An-Nissa’:48.
  1. Mengenai iman dan kufur
Dalam masalah iman, aliran Maturidiyah Samarkand berpendapat bahwa iman adalah tashdiq bi al-qalb, bukan semata-mata iqrar bi al-lisan. Ia berargumentasi dengan ayat Al-Qur’an surat Al-hujurat 14:
Artinya: “orang-orang Arab Badui itu berkata: “Kami telah beriman”. Katakanlah: “Kamu belum beriman, tapi Katakanlah ‘kami telah tunduk’, karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu; dan jika kamu taat kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia tidak akan mengurangi sedikitpun pahala amalanmu; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Hujurat, 49: 14)
Ayat tersebut di pahami Al-Maturidi sebagai suatu penegasan bahwa keimanan itu tidak cukup hanya perkataan semata, tanpa diimani pula oleh kalbu. Apa yang di ucapkan oleh lidah dalam bentuk pernyataan iman, menjadi batal bila hati tidak mengakui ucapan lidah.
Maturidiyah Bukhara mengembangkan pendapat yang berbeda. Al-Bazdawi menyatakan bahwa iman tidak dapat berkurang, tidak bisa bertambah dengan adanya ibadah-ibadah yang dilakukan. Al-Bazdawi menegaskan hal tersebut dengan membuat analogi bahwa ibadah-ibadah yang dilakukan berfungsi sebagai bayangan dari iman. Jika bayangan itu hilang, esnsi yang digambarkan oleh bayangan itu tidak akan berkurang. Sebaliknya, dengan kehadiran baying-bayang (ibadah) itu, iman justru menjadi bertambah.
2.      Mengenai perbuatan Tuhan dan perbuatan manusia
Mengenai perbuatan Tuhan
Mengenai perbuatan Allah SWT. ini, terdapat perbedaan pandangan antara Maturidiyah Samarkad dan Maturidiyah Bukhara. Aliran Maturidiyah Samarkad, yang juga memberikan batas pada kekuasaan dan kehendak mutlak tuhan, pendapat bahwa perbuatan Tuhan hanya menyangkut hal-hal yang baik saja. Demikian juga pengiriman rasul dipandang Maturidiyah Samarkand sebagai kewajiban Tuhan.
Maturidiyah Bukhara memiliki pandangan yang sama dengan Asy’ariyah mengenai faham bahwa Tuhan tidak mempunyai kewajiban. Namun, sebagaimana yang dijelaskan oleh Bazdawi, Tuhan pasti menempati janji-Nya, seperti memberi upah kepada orang yang berbuat baik, walaupun Tuhan mungkin saja membatalkan ancaman bagi orang yang berdosa besar.  Adapun pandangan Maturidiyah Bukhara tentang pengiriman rasul, sesuai dengan faham mereka tentang kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan, tidaklah bersifat wajib dan hanya bersifat mungkin saja.
3.      Mengenai perbuatan Manusia
Ada perbedaan antara Maturidiyah Samarkand dan Maturidiyah Bukharah mengenai perbuatan manusia. Kehendak dan daya berbuat pada diri manusia, menurut Maturidiyah Samarkand, adalah kehendak dan daya manusia dalam arti kata sebenarnya dan bukan dalam arti kiasan, maksudnya daya untuk berbuat tidak diciptakan sebelumnya, tetapi bersama-sama dengan perbuatannya. Sedangkan Maturidiyah Bukharah memberikan tambahan dalam masalah daya. Manusia tidak mempunyai daya untuk melakukan perbuatan, hanya Tuhanlah yang dapat mencipta, dan manusia hanya dapat melakukan perbuatan yang telah diciptakan Tuhan bagi-Nya.
4.      Mengenai sifat-sifat Tuhan
Maturidiyah Bukhara berpendapat Tuhan tidaklah mempunyai sifat-sifat jasmani. Ayat-ayat Al-Qur’an yang menggambarkan Tuhan mempunyai sifat-sifat jasmani haruslah diberi ta’wil.
Sedangkan golongan Samarkand mengatakan bahwa sifat bukanlah Tuhan, tetapi tidak lain dari Tuhan. Dalam menghadapi ayat-ayat yang memberi gambaran Tuhan bersifat dengan menghadapi jasmani ini. Al-Maturidi mengatakan bahwa yang dimaksud dengan tangan, muka, mata, dan kaki adalah kekuasaan Tuhan.
1.      Mengenai kehendak mutlak Tuhan dan keadilan Tuhan
Kehendak mutlak Tuhan, menurut Maturidiyah Samarkand, dibatasi oleh keadilan Tuhan. Tuhan adil mengandung arti bahwa segala perbuatannya adalah baik dan tidak mampu untuk berbuat buruk serta tidak mengabaikan kewajiban-kewajiban-Nya terhadap manusia. Adapun Maturidiyah Bukhara berpendapat bahwa Tuhan memiliki kekuasaan mutlak. Tuhan berbuat apa saja yang dikehendaki-Nya dan menentukan segala-galanya. Tidak ada yang menentang atau memaksa Tuhan dan tidak ada larangan bagi Tuhan.
5.      Sekte-sekte atau Aliran-Aliran Maturidiyah
Berdasarkan beberapa referensi yang kami peroleh, aliran Maturidiyah dapat digolongkan menjadi dua bagian yaitu:
1.      Golongan Samarkand
Yang menjadi golongan ini adalah pengikut-pengikut Al-Maturidi sendiri. Golongan ini cenderung ke arah faham Asy’ariyah, sebagaimana pendapatnya tentang sifat-sifat Tuhan. Dalam hal perbuatan manusia, maturidi sependapat dengan Mu’tazilah, bahwa manusialah yang sebenarnya mewujudkan perbuatannya. Al-Maturidi berpendapat bahwa Tuhan memiliki kewajiban-kewajiban tertentu.
2.      Golongan Bukhara
Golongan ini dipimpin oleh Abu Al-Yusr Muhammad Al-Bazdawi. Dia merupakan pengikut Maturidi yang penting dan penerus yang baik dalam pemikirannya. Nenek Al-Bazdawi menjadi salah satu murid Maturidi. Jadi yang dimaksud dengan golongan Bukhara adalah pengikut-pengikut Al-Bazdawi dalam aliran Al-Maturidiyah. Walaupun sebagai pengikut aliran ­Al-Maturidiyah, AL-Bazdawi selalu sefaham dengan Maturidi. Ajaran teologinya banyak dianut oleh umat islam yang bermazhab Hanafi. Dan hingga saat ini pemikiran-pemikiran Al-Maturidiyah masih hidup dan berkembang di kalangan umat Islam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar